Senin, 13 Februari 2012

POLIGAMI, HALAL YANG DIHARAMKAN

POLIGAMI, HALAL YANG DIHARAMKAN

Oleh: Muh. Najih Farihanto


I. Pendahuluan

Poligami, sampai sekarang masih mengundang pro dan kontra di media massa. Beberapa kalangan berpendapat bahwa Poligami merendahkan kaum wanita, tetapi ada beberapa kalangan yang menyepakati adanya poligami dengan alasan menghindari perzinahan. Apabila menilik dari asal usul katanya, poligami berasal dari bahasa Yunani kuno yang merupakan penggalan kata poli atau polus yang artinya banyak, dan kata gamen atau gamos yang artinya kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Dewasa ini poligami[1] lebih dikenal dengan pengertian perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu wanita atau perkawinan yang banyak atau pemahaman tentang seorang laki-laki yang membagi kasih sayangnya atau cintanya dengan beberapa wanita dengan menyunting atau menikahi wanita lebih dari satu dan hal ini dapat mengundang persepsi setiap orang baik negatif atau positif tentang baik buruknya moral sesorang yang melakukan poligami. Di dalam Islam, poligami bukan hal yang dilarang. Bahkan, ada yang memahami hal itu sebagai sunnah nabi. Tak mengherankan, bila selama ini, banyak tokoh, termasuk para ustad, ulama, kiai, atau orang muslim biasa yang memiliki istri lebih dari satu. Walaupun masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah kaum Muslim masih banyak yang menentang.

Heboh poligami sebenarnya sudah lama terjadi di media massa, tetapi semakin hebih dengan diberitakannya Poligami yang dilakukan oleh Da’i kondang KH. Abdullah Gymnastiar atau yang biasa dipanggil Aa’ Gym. Pertengahan tahun 2006 lalu Aa’ Gym secara diam-diam dikabarkan menikahi janda cantik beranak tiga yang bernama Elvarini merupakan karyawan dari salah satu perusahaan yang dimiliki oleh Aa’ Gym. Pemimpin pondok pesantren Da’arut Tahuid ini sempat mengelak perihal pernikahan yang kedua kalinya ini. Sebelumnya Aa’ Gym telah menikah dengan Nini Mutmainnah yang biasa dipanggil The Nini dan dikaruniai tujuh orang anak. Dampak dari poligami Aa’ Gym adalah turunya reputasi Aa Gym dimata para penggemarnya yang sebagian besar adalah kaum hawa. Tidak hanya itu, bisnis yang dibangaunnya selama belasan tahun ikut redup bahkan dikabarkan pailit. Poligami Aa’ Gym banyak mengundang kecaman dari masyarakat. Contohnya aksi turun jalan yang dilakukan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), seperti yang dilansir oleh detiknews.com[2] :

“..Jakarta - Dengan terbalut baju koko putih, sarung warna merah marun sorban, kaca mata hitam dan berselempang sajadah warna motif macan tutul, 'Aa Gym' ada di tengah-tengah pendemo antipoligami yang tengah memperingati Hari Ibu ke-78. Anda benar, 'Aa Gym' yang ikut demo itu hanyalah orang yang berperan sebagai Aa Gym, dai kondang asal Bandung. Pria itu memegang spanduk yang bertuliskan "Poligami=Perselingkuhan yang dilegalkan!" Dia ada berdiri di barisan depan di antara 50 pendemo. "Iya saya 'Aa Gym'. Seharusnya dia ada di sini tetapi sudah kadung kawin lagi sekarang. Kalau paham poligami, dia di sini sekarang," kata pria itu sambil tersenyum di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (22/12/2006) pukul 10.00 WIB. Demo yang diikuti perempuan yang tergabung dalam Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) ini diisi orasi-orasi. Sebagian pendemo memakai topi caping. Beberapa ibu tampak membawa buah hatinya yang masih balita. "Satu-satu aku sayang ibu, dua-dua juga sayang ayah, tiga-tiga sayang adik kakak, satu dua tiga tolak poligami!" Yel-yel itu terus dinyanyikan. Seorang peserta demo tampak menangis tersedu-sedu. "Saya korban poligami. Saya telah berpisah. Dia berulang kali kawin. Mungkin dia sekarang tinggal bersama istri barunya ," papar wanita berkerudung ini sambil bercucuran air mata. Hingga berita ini diturunkan pukul 10.40 WIB, demo ini masih berlangsung. Sedangkan massa propoligami telah beberapa waktu lalu meninggalkan Bundaran HI, longmarch menuju kantor Menneg PP di Jalan Medan Merdeka Barat..”

Poligami di Indonesia masih dianggap tabu. Hal ini salah satunya disebabkan oleh konstruk negative media tentang poligami. Padahal tidak sedikit orang yang sepakat dengan adanya poligami di Indonesia. Ada kontra pasti ada yang pihak yang pro. Pertengahan 2011 muncul kelompok yang menamakan dirinya Klub Istri Ta’at Suami. Kelompok ormas yang berasal dari Malaysia ini merupakan kelompok para istri yang sangat menta’ati para suaminya, tidak terkecuali apabila sang suami menginginkan untuk berpoligami. Kelompok ini didirikan oleh golongan Islam Konservativ di Malaysia, Global Ikhwan Johor bertujuan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit social seperti prostitusi, perselingkuhan dan menghindari perceraian. Seperti yang dilansir detiknews.com[3] :

“..Jakarta - Kisah perselingkuhan suami seolah tak berhenti. Pelacuran pun marak di mana-mana. Apa solusinya? Bagi sebagian orang, meningkatkan ketaatan pada suami bisa jadi jawaban. Konsep itulah yang coba dibuat oleh para anggota Klub Istri Taat Suami. Selain kesetiaan, para istri ini memikirkan cara yang kreatif agar membuat suami lebih betah di rumah. Rencananya, klub yang digagas oleh Global Ikhwan asal Malaysia ini akan diluncurkan di Indonesia pada tanggal 18 Juni malam di Restoran Sindang Reret, Jakarta. Sementara markas mereka berada di kawasan Sentul, Bogor. "Istri tidak khianat, selalu setia tapi sangat tidak kreatif untuk memuaskan hati suami. Suami pulang bukan disambut dengan senyuman manis, menggoda, seksi, dan bau wangi yang membangkit birahi, tapi dengan tahi mata dan air liur basi. Inilah kenyataan di tengah masyarakat," kata Dr Gina Puspita, ketua panitia pembentukan klub ini lewat rilis kepada detikcom, Minggu(5/6/2011). Dalam rilisnya, klub tersebut bertekad membuat sebuah kelompok yang terdiri dari istri-istri yang taat pada suami. Cara ini dinilai lebih efektif guna menekan angka pelacuran dan kekerasan pada wanita. "Berbagai cara telah digunakan dan diperjuangkan seperti perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM), gerakan woman's Lib, penerapan undang-undang dan lain-lain. Namun nampaknya sia-sia saja. Pelacuran tetap tinggi bahkan menjadi satu jenis perdagangan, baik itu pelacuran terang-terangan atau kegiatan yang mendorong ke arah itu seperti klub malam, klub striptease dan sebagainya," paparnya. Apa saja kreatifitas yang dilakukan oleh klub taat suami ini? Menurut Gina, hal itu bisa berawal dari ketaatan hingga peningkatan hiburan terhadap suami. "Suami yang gembira, ceria, bahagia karena sudah 'kenyang' dengan taat, khidmat dan hiburan dari isterinya, maka dia tidak akan ganas pada isterinya, tak berlakulah penganiayaan wanita. Dia tidak akan 'cari makan' di luar rumah, maka tak berlakulah pelacuran. Dia menjadi lelaki yang bertanggungjwab dalam semua urusan," harapnya.
"Atas cita-cita inilah, maka kami wanita-wanita Global Ikhwan mendirikan KLUB TAAT SUAMI," tutupnya..”

Adanya Klub Istri Taat Suami membuktikan bahwa adanya dukungan poligami di Indonesia. Mungkin orang-orang tidak akan menyangka akan muncul organisasi ini karena masih buruknya pandangan masyarakat tentang Poligami dan didukung pemberitaan media yang “trial by the press” kepada orang-orang yang melakukan poligami. Masyarakat dibuat lupa dengan adanya kaum minoritas yang mendukung poligami, padahal mereka mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapat. Media massa mempunyai kekuatan untuk memprovokasi massa yang sangat abstrak. Media mengemas berita sedemikian rupa agar berita terlihat menarik dan mempunyai daya peruasif tinggi,hal ini diperkuat dengan belum sadarnya masyarakat tentang kepentingan-kepentingan kolongmerasi media, atau bahkan mempunyai motiv politik dibelakangnya. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba membahas pemberitaan Poligami di media massa dalam implementasi Teori Spiral Of Silent yang dikemukakan Elizabeth Noel Newmann dan bagaimana cara para silencer menentang isu yang dominan di media massa.

II. Spiral of Silence

Sebuah teori yang member media massa lebih banyak kekuatan daripada tori-teori lain adalah tori spiral of silent yang dikembangkan oleh Elizabet Noelle Neumann (1973,1980). Noelle Neumann manyatakan bahwa media massa mempinyai dampak yang sangat kuat pada opini publik tetapi dampak ini diremehkan atau tidak terdeteksi di masa lalu karena keterbatasan riset.

Elisabeth Noelle-Neumann[4], ilmuwan politik Jerman. Pada 1947 Neumann dan suaminya menemukan "Organisasi Opini Publik" dalam bahasa Jerman dan juga dia adalah Presiden dari "Dunia Asosiasi untuk Riset Opini Publik" pada tahun 1978 hingga 1980. Melalui teori Spiral of Silence Neumann tidak langsung menjelaskan status orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II di bawah kendali Nazi. Di sini, Adolf Hitler mendominasi seluruh masyarakat dan orang-orang Yahudi minoritas menjadi diam karena takut isolasi atau pemisahan.

Kajian Noelle-Neumann[5] ini menitikberatkan peran opini dalam interaksi sosial. Sebagaimana kita ketahui, opini publik sebagai sebuah isu kotroversial akan berkembang pesat manakala dikemukakan lewat media massa. Ini berarti opini publik orang-orang juga dibentuk, disusun, dikurangi oleh peran media massa. Jadi ada kaitan erat antara opini dengan media massa. Opini yang berkembang dalam kelompok mayoritas dan kecenderungan seseorang untuk diam (sebagai basis dasar teori spiral kesunyian) karena dia barasal dari kelompok minoritas juga bisa dipengaruhi oleh isu-isu dari media massa.

Noelle Neumann[6] menunjukkan bahwa tiga karakteristik komunikasi massa—kumulasi, ubikuitas, dan harmoni—bergabung untuk menghasilkan dampak-dampak opini publik yang sangat kuat. Kumulasi (cumulation) mengacu pada pembesaran atau tema-tema atau pesan-pesan tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Ubikuitas (ubiquity) mengacu pada kehadiran media massa yang tersebar luas. Harmoni (consonance) mengacu pada gambaran tunggal dari sebuah kejadian atau isu yang dapat berkembang dan sering kali digunakan bersamaan oleh surat kabar, majalah, jaringan televisi, dan media yang lain yang berbeda-beda. Dampak harmoni adalah untuk mengatasi eskpose selektif, karena orang tidak dapat memilih pesan lain, dan untuk menyajikan kesan bahwa sebagian besar melihat isu dengan cara yang disajikan media.

Dalam teori Noelle Neumann, opini publik dibentuk melalui proses yang disebut spiral of silence. Pada sebuah isu kontrofersial, orang-orang akan membentuk kesan tentang distribusi opini. Mereka mencoba menentukan apakah mereka merupakan mayoritas, dan kemudian mereka mencoba untuk menentukan apakah opini publik sejalan degan mereka. Apabila mareka merasa adalah minoritas, maka mereka cenderung untuk diam berkenaan dengan isu tesebut. Apabila menurut mereka opini publik berubah menjadi berbeda dengan pendapat mereka, maka mereka cenderung untuk diam berkenaan dengan isu tersebut. Semakin mereka diam, semakin orang lain merasa bahwa sudut pandang terntentu tidak terwakili, dan mereka semakin diam.

Teori spiral of silent manyatakan bahwa individu mempunyai organ indra yang mirip statistic yang digunakan untuk menentukan “opini dan cara perilaku mana yang disetujui atau tidak disetujui oleh lingkungan mereka, serta opini dan bentuk prilaku mana yang memperoleh atau kehilangan kekuatan” (Noelle Neumann, 1993)

Media massa memainkan peran penting dalam spiral of silent karena media massa merupakan sumber yang diandalkan orang untuk menemukan distribusi opini public. Media massa dapat berpengaruh dalam spiral of silent dalam tiga cara:

1. Media massa membentuk kesan tentang opini dominan.

2. Media massa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat.

3. Media massa membentuk kesan tentang opini mana yang disampaikan di muka umum tanpa menjadi terselisih.



http://www.utwente.nl/cw/theorieenoverzicht/Theory%20clusters/Mass%20Media/spiral_of_silence.doc/spiral_of_silence-1.gif

Noelle Neumann menyatakan bahwa kemauan untuk berbicara mengenai isu-isu sangat dipengeruhi oleh persepsi iklim opini – apabila iklim opini melawan seseorang, maka opini itu akan diam. Kekuatan yang memotifasi untuk diam ini digambarkan sebagai kekuatan akan keterasingan. Larosa (1991) mempertanyakan apakah kekuatan akan iklim opini yang bermusuhan adalah benar-benar kuat, dan dia melaksakan sebuah penelitian untuk menyelidiki pernyataan tersebut. Dia melaksanakan sebuah survey dimana dia telah menguji apakah keterbukaan politik dipengeruhi tidak hanya oleh persepsi iklim opini seperti yang dinyatakan oleh Noelle Neumann, tetapi juga variable-variabel lain. Variable-variabel lain meliputi usia, pendidikan, penghasilan, minat dalam politik, tingkat persepsi atas kemampuan diri (self efficacy), relevansi pribadi dengan isu, penggunaan media berita oleh seseorang, dan perasaan yakin seseorang dalam kebenaran pendapatnya. Hasil analisis regresi menunjukan keterbukaan dipengeruhi oleh rintangan variable demografi (usia, pendidikan, dan penghasilan), tingkat persepsi atas kemampuan diri (self efficacy), perhatian pada informasi politik dalam media berita, dan perasaan yakin seseorang dalam posisinya, tetapi tidak dipengaruhi oleh relevansi pribadi pada isu atau pengguna media berita secara umum. Larosa menyatakan bahwa hasil penelitian menunjukan bahwa hadapan opini public, orang tidak benar-benar selemah yang dinyatakan Noelle Neumann, dan terdapat kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk memerangi spiral of silent.

III. Pembahasan

Sebelum kita membahas poligami dari segi media, penulis akan terlebih menyampaikan sedikit tentang poligami dalam hokum islam. Dalam hukum Islam, Poligami diperbolehkan. Firman Allah dalam surat an-nisa’ ayat 3 yang artinya sebagai berikut :

“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak atau perempuan yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinlah dengan perempuan lain yang menyenangkan hatimu; dua, tiga, atau empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (terhadap istri yang terbilang), maka kawinilah seorang saja, atau ambillah budak perempuan kamu. Demikian ini agar kamu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya”

Ini lah yang sering disalah artikan oleh khalayak dalam berpoligami. Dalam Surat An-nisa ayat 3 terdapat penekanan bahwa seorang laki-laki yang ingin melakukan poligami haruslah berlaku adil. Apabila tidak bisa berlaku adil maka menikah hanya dengan satu wanita saja. Menurut hemat penulis,

Poligami merupakan salah satu objek dalam kehidupan social masyarakat. Setiap individu akan berbeda dalam memberikan pemahaman terhadap poligami. Pemahaman yang berbeda dalam menghadapi masalah poligami memberikan persepsi yang berbeda pula terhadap poligami antara seseorang dengan orang lain, persepsi seseorang terhadap poligami sangat tergantung pada pemahamannya tentang poligami.

Dalam membuat pemahaman khalayak, peran media tidak bisa dihindarkan, karena salah satu fungsi media (massa) adalah sebagai fungsi mempengaruhi. Wardani (2008:24), mengungkapkan salah satu fungsi media massa secara universal adalah fungsi mempengaruhi. Fungsi mempengaruhi pendapat, pikiran dan bahkan prilaku masyarakat inilah yang merupakan hal paling penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Selama ini, media membentuk persepsi tentang poligami dirasa kurang seimbang. Media sering menyebarakn kebencian kepada orang yang melakukan poligami dengan memberikan contoh tindakan. Contoh tindakan disini maksudnya adalah contoh tindakan seorang yang melakukan poligami yang tidak dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. Padahal tidak semua orang yang melakukan poligami itu tidak dapat berlaku adil kepada istrinya, contohnya pengusaha Ayam Bakar Wong Solo yang memiliki empat orang istri. Ke empat istrinya merasa diperlakukan adil dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu media sering memposisikan anak dan perempuan sebagai korban poligami. Hal ini didukung oleh sebagian besar pemirsa media (dalam hal ini adalah televisi) adalah perempuan yang notabenenya lebih mudah dipancing emosinya.

Dalam teori spiral of silent, Noelle Neumann[7] menunjukkan bahwa tiga karakteristik komunikasi massa yaitu kumulasi, ubikuitas, dan harmoni. Penjelasannya sebagai berikut:

1. Kumulasi (cumulation) mengacu pada pembesaran atau tema-tema atau pesan-pesan tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Tema poligami adalah salah satu tema yang sensitive diperbincangkan dalam masyarakat. Oleh karena itu, apabila muncul isu poligami di media massa, semua orang akan tertuju kepadanya, apa lagi isu poligami yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi panutan dalam media.

2. Ubikuitas (ubiquity) mengacu pada kehadiran media massa yang tersebar luas. Media mempunyai kecepatan dalam menjangkau khalayak dengan cepat. Isu poligami dapat termasifkan dengan segera karena jangkauan media sangat luas dan tersebar sampai kepelosok daerah. Selain itu kemudahan dalam menjangkau media juga mempengaruhi masifikasi pesan.

3. Harmoni (consonance) mengacu pada gambaran tunggal dari sebuah kejadian atau isu yang dapat berkembang dan sering kali digunakan bersamaan oleh surat kabar, majalah, jaringan televisi, dan media yang lain yang berbeda-beda. Dampak harmoni adalah untuk mengatasi eskpose selektif, karena orang tidak dapat memilih pesan lain, dan untuk menyajikan kesan bahwa sebagian besar melihat isu dengan cara yang disajikan media. Seperti pada saat berita poligami Aa Gym, semua media massa baik cetak, elektronik, bahkan online ramai-ramai mengangkat isu tersebut dari berbagai sudut pandang.

Apabila ketiga karakteristik ini bergabung maka dapat menghasilkan dampak-dampak opini publik yang sangat kuat. Opini public merupakan sekumpulan pandangan individu terhadap isu yang sama.[8] Dalam isu tentang poligami, khalayak akan membentuk opini yang berbeda-beda tentang poligami, ada yang pro dan ada yang kontra. Kemudian khalayak akan menentukan apakah mereka termasuk dalam kategori mayoritas atau minoritas. Mereka akan mencoba untuk menjadi mayoritas, dan melihat opini public yang berkembang di media adalah yang sesuai dengan mereka. Apabila ternyata mereka adalah minoritas, mereka akan cenderung untuk memilih diam.

Media massa memainkan peran penting dalam spiral of silent karena media massa merupakan sumber yang diandalkan orang untuk menemukan distribusi opini public. Media massa dapat berpengaruh dalam spiral of silent sebagai pembentuk kesan tentang opini dominan. Dalam isu poligami, media akan mengatur pesan sedemikian rupa tentang poligami sehingga pesan tersebut akan menjadi opini yang dominan dalam masyarakat. Selain itu, media massa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat. Poligami merupakan isu yang selalu menarik diperbicangkan dalam media massa, bahkan lebih menarik dari isu perselingkuhan dan sekandal cinta wakil rakyat.

Apabila kita melihat realitanya, media justru menyebarkan benci kepada opini yang dominan dimasyarakat tentang poligami. Wacana yang dikembangkan media pada umumnya membawa masalah poligami hanya dibenturkan dengan sudat pandang agama (Islam). Padahal poligami bukan hanya sekedar permasalahan agama, tetapi juga didukung dengan faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya poligami. Seperti faktor gaya hidup yang cenderung hedonis, yang menyebabkan pola hidup yang berkecukupan dengan isntan. Atau bahkan karena faktor energy seksual yang tidak bisa dikelola dengan baik.

Dengan gencarnya pemberitaan tentang penghakiman poligami di media, sehingga menghasilkan opini publik yang anti poligami dan seakan-akan media tidak memperhatikan bahwa ada pihak lain yang tidak terwakili opininya. Inilah yang disebut sebagai silencer dalam teori Spiral of Silent. Silencer adalah publik minoritas yang opininya tidak terwakili oleh media massa. Mereka akan cenderung diam, atau mungkin terlihat diam tetapi membentuk pergerakan dalam memperjuangkan opininya. Dalam kasus poligami, silencer adalah public yang pro dengan poligami. Sangat jarang sekali opini mereka diangkat media massa, kalaupun ada durasi penayangannya tidak sebesar dari public yang anti dengan poligami. Munculnya Klub Istri taat Suami notabenenya adalah klub yang mendukung gerakapn poligami merupakan salah satu contoh kongkrit dari adanya silencer yang berani melawan arus kuat dari opini public dominan yang dibentuk media massa. Alasan mereka mendirikan organisasi tersebut cukup kuat, selain untuk merubah pandangan masyarakat tentang poligami juga mewakili dari para silencer yang selama ini diam karena derasnya pemberitaan negative tentang poligami.

Inilah sebuah fakta sebagai kritik kepada teori spiral of silent. Larosa dalam Saverin dan Tankard mengatakan ada beberapa variable yang menyebabkan adanya pergerakan silencer dalam keberaniannya mengutarakan pendapat. Salah satunya adalah perasaan yakin seseorang dalam kebenaran pendapatnya. Ketika dia yakin akan kebenaran pendapat pribadinya, maka dia akan berani melawan arus informasi media yang bertolak belakang dengan pendapatnya. Selain perasaan yakin seseorang dalam kebenaran pendapatnya, variable lain yang menguatkan untuk melawan arus opini public yang dinetuk oleh media adalah tingkat persepsi atas kemampuan diri (self efficacy). Seorang akan sadar dengan kemampuan dirinya dan dia akan melihat siapa dirinya. Ketika dia merasa mempunyai kekuatan tersendiri, seperti tingkat pendidikan, maka dia akan berani melawan arus opini public karena mempunyai intelektualitas yang memadahi.



IV. Kesimpulan

Poligami dalam Islam jelas tidak dilarang. Karena memiliki landasan yang kuat dalam Al-Quran surat an-nisa ayat 3. Berbagai macam persepsi tentang poligami ada dibenak setiap individu. Dalam membentuk persepsi tentang poligami, peran media massa sangat penting. Tetapi media massasebagian besar cenderung mengatakan lain tentang poligami. Media lebih sering menyebarakn kebencian kepada orang yang melakukan poligami dengan melakukan trail by the press.

Teori spiral of silent. menunjukkan bahwa tiga karakteristik komunikasi massa yaitu kumulasi, ubikuitas, dan harmoni. Apabila ketiga karakteristik ini bergabung maka dapat menghasilkan dampak-dampak opini publik yang sangat kuat. Dalam isu tentang poligami, khalayak akan membentuk opini yang berbeda-beda tentang poligami, ada yang pro dan ada yang kontra. Mereka yang mempunyai pendapat yang sama denga opini publik yang berkembang akan lebih berani untuk angkat bicara, tetapi bagi yang tidak terwakili opininya melalui media massa, akan cenderung diam. Dalam teori Spiral of Silent. Silencer adalah publik minoritas yang opininya tidak terwakili oleh media massa. Mereka akan cenderung diam, atau mungkin terlihat diam tetapi membentuk pergerakan dalam memperjuangkan opininya. Dalam kasus poligami, silencer adalah public yang pro dengan poligami. Sangat jarang sekali opini mereka diangkat media massa, kalaupun ada durasi penayangannya tidak sebesar dari public yang anti dengan poligami. Munculnya Klub Istri taat Suami notabenenya adalah klub yang mendukung gerakapn poligami merupakan salah satu contoh kongkrit dari adanya silencer yang berani melawan arus kuat dari opini public dominan yang dibentuk media massa.

Adanya klub istri taat suami membuktikan bahwa tidak selamanya silencer itu diam. Dalam diam, mereka justru mebuat pergerakan arus bawah yang bisa jadi akan mebalikkan keadaaan. Opini public yang berkembang bisa saja justru memihak silencer dan merobohkan kuatnya dinding konstruk yang ada di media massa. Apalagi dewasa ini muncul media baru (new media) yang identik dengan internet. Social media, blogger, micro blogger, komunitas virtual justru dirasa lebih efektif dalam mempersuasi pesan baik one to one atau one to many.

DAFTAR PUSTAKA

Cutlip, Scott M.,Allen H. Center & Glen M. Broom. 2005. Effective Public Relations. Edisi:9 (edisi:ind). Jakarta: PT. INDEKS kelompok Gramedia.

Saverin Warner J, W. Tankard,Jr James. 2007. Teori Komunikasi Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: PT. Prenada Media Group

http://www.psikomedia.com/article/view/Psikologi-Keluarga/2078/Definisi-Poligami/

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://communicationtheory.org/the-spiral-of-silence-theory/

http://nurudin.staff.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_97.pdf



[1] http://www.psikomedia.com/article/view/Psikologi-Keluarga/2078/Definisi-Poligami/

[2] http://www.detiknews.com/read/2006/12/22/105041/723208/10/-aa-gym--demo-anti-poligami

[3] http://www.detiknews.com/read/2011/06/06/011555/1653610/10/lawan-pelacuran-muncul-klub-istri-taat-suami

[4] http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://communicationtheory.org/the-spiral-of-silence-theory/

[5] http://nurudin.staff.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_97.pdf

[6] Warner J,Saverin dan James W. Tankard,Jr. Teori Komunikasi Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Hlm 325.2007

[7] Warner J,Saverin dan James W. Tankard,Jr. Teori Komunikasi Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Hlm 325.2007

[8] Cutlip, Scott M.,Allen H. Center & Glen M. Broom. 2005. Effective Public Relations. Edisi:9 (edisi:ind). Jakarta: PT. INDEKS kelompok Gramedia. Hlm: 239

2 komentar:

Ayub Almarhum mengatakan...

sekedar jalan-jalan ustad... saya setuju lah dgn postingan ini...

Ayub Almarhum mengatakan...

mahasiswa putm nihh