Senin, 13 Februari 2012

Bahasa Sebagai Strategi Identitas Korporat Televisi Lokal

(Studi Deskriptif pada Tayangan Pojok Kampung JTV Surabaya)

oleh: Muhammad Najih Farihanto


1. Latar Belakang

Dewasa ini aktifitas pencitraan merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh organisasi, baik organisasi profite maupun nonprofite, yang termasuk di dalamnya adalah industri media massa. Kegiatan pencitraan adalah hasil gabungan dari semua kesan yang didapat dari pesan (simbol) yang diproduksi secara konsisten oleh perusahaan/organisasi, baik itu dengan cara melihat nama, mengamati perilaku atau membaca suatu aktivitas atau melihat bukti material lainnya.

Ada beberapa factor dalam membentuk citra organisasi, menurut Jefkin[1] salah satu macam dari citra adalah citra sebaneka (multiple image) dimana kesan yang berkaitan dengan segala aspek untuk lebih mengenalkan (awareness) terhadap identitas perusahaan. seperti atribut logo, brand’s name, seragam (uniform) para front liner, sosok gedung, dekorasi lobby kantor, penampilan para profesionalnya.

Identitas corporate tidak hanya sebatas hal-hal yang berwujud saja, tetapi juga hal-hal yang tidak berwujud tetapi bisa dirasakan (tangible), salah satunya adalah bahasa. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi dalam sebuah organisasi, tetapi juga bahasa sebagai identitas yang merupakan representasi dari filosofi organisasi.

JTV sebagai salah satu media massa terbesar di Jawa Timur mempunyai tayangan berita yang unik dan paling di gemari oleh masyarakat Jawa Timur. Tayang tersebut bernama Pojok Kampung. Tayangan berita yang tayang setiap malam pukul 21.30 ini menggunakan bahasa jawa ala Suroboyoan yang terkesan sedikit kasar ditambah dengan beberapa segmen pelengkap yaitu segmen “Blakraan” dimana menceritakan tentang sejarah kota-kota yang ada di Jawa Timur dan segmen “Kamus Suroboyo” yang berisi tentang bahasa-bahasa keseharian warga Jawa Timur.

Pojok kampung dengan bahasa yang khas Suroboyoan diharapkan dapat merepresentasi identitas JTV (dibawah Jawa Pos Grup) sebagai media massa yang menyajikan berita yang ditayangkan oleh televisi lokal Surabaya. Pojok kampung merupakan tayang pertama yang manyajikan berita dengan bahasa unik sebagai bahasa komunikasi pemberitaan. Hal ini merupakan tantangan besar bagi JTV dalam menghadapai respon dari masyarakat Jawa Timur yang sangat abstrak. Penulis melihat, bahwa bahasa unik yang digunakan dalam tayangangn Pojok Kampung dapat memberikan impresi tersendiri bagi khalayak. Keunikan tersebut menghasilkan hegemoni yang melekat erat bahwa Pojok Kampung adalah tayangan berita milik JTV yang memberikan efek citra dan reputasi pada JTV. Dengan kata lain, bahasa yang digunakan pojok kampung dapat merepresentasi dari identitas korpotar JTV yang berkaitan dengan filosofi dan iklim organisasi.

Berawal dari keunikan ini, penulis mencoba membahas secara komprehensif mengenai corporate identity (identitas korporat) JTV melalui tayangan Pojok Kampung sebagai salah satu aktivitas penguatan identitas korporat.

2. Landasan Teori

2.1. Identitas Korporat

Identitas perusahaan memiliki latar belakang historis. Pengalaman masa lalu, sejarah, filosofi perusahaan dapat direpresentasi dalam identitas perusahaan. Prusahaan bisa jadi membutuhkan waktu yang relatif lama dalam memformulasikan identitas perusahaan yang tepat sasaran kepada publiknya, yang bisa memberikan impresi mendalam sehingga dapat terus diingat dan public akan terus mengkonsumsi produk perusahaan.

Argenti[2] mengatakan identitas sebuah perusahaan adalah manifestaasi aktual dari realita perusahaan seperti yang disampaikan melalui nama perusahaan, logo, moto, produk, layanan, bangunan, alat tulis, seragam dan barang-barang bukti nyata yang diciptakan oleh organisasi tersebut dan komunikasi kepada beragam konstituen. Konstituen kemudian membentuk persepsi berdasarkan pean-pesan yang perusahaan tersebut kirimkan dalam bentuk nyata.

Sementara Elinor Salme[3] yag disadur Ardianto, dalam bukunya The Company Image menyatakan identitas perusahaan adalah apa yang senyatanya ada pada atau suatu yang ditampilkan perusahaan. Identitas menampilkan jati diri perusahaan. Sedangkan citra adalah prespektif masyarakat terhadap jati diri itu. Identitas merupakan pernyataan singkat perusahaan kepada masyarakat tentang apa dan siapa mereka . identitas perusahaan dapat membedakan perusahaan yang satu dengan yang lainnya.

Identitas merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi keberhasilan pembentukan citra perusahaan dimata masyarakat. Identitas yang efektif dapat menciptakan citra positif dimata konstituen. Bahkan tidak jarang, identitas menjadi faktor utama dalam peningkatan konsumsi produk pada masyarakat. Seperti yang dikatakan Jefkin[4], identitas perusahaan bisa dikaitkan dengan pengemasan produk.

2.3 Citra dan Reputasi

Argenti[5] mengatakan bahwa citra adalah sebuah cerminan dari identitas organisasi. Dengan kata lain citra adalah organisasi sebagaimana terlihat dalam sudut pandang konstituennnya. Tergantung dari konstituen mana yang terlibat, sebuah organisasi dapat memiliki banyak citra yang berbeda. Dengan begitu untuk mengerti identitas dan citra sama dengan mengetahui seperti apa organisasi itu sebenarnya dan kemana ia menuju. Sementara Jefkin[6] dalam Ardianto mengatakan bahwa citra adalah kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya. Citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta-fakta atau kenyataan. Apabila ditarik garis merah dari keduanya ada kesamaan dalam memandang sebuah citra, dimana citra adalah suatu hal yang sangat melekat dengan pribadi diri atau organisasi yang dihasilkan dari apa yang telah dilakukan sehingga menjadi ciri khas atau yang membedakan organisasi dengan organisasi lainnya.

Menurut Frank Jefkin dalam Muwafik[7] memaparkan jenis-jenis citra, diantaranya adalah :

1. Citra Cermin (Mirror Image): yaitu kesan yang diyakini oleh perusahaan (para pimpinan) terhadap organisasinya secara sepihak tanpa mengacuhkan pesan dari luar. Cenderung merasa dalam posisi baik padalah jauh dari kenyataan, khususnya setelah dilakukan studi.

2. Citra Kini (Current Image): (1)yaitu kesan yang diperoleh dari orang lain tentang organisasi atau hal lain yang berkaitan dengan produknya; (2) kesan yang senyatanya terjadi terhadap perusahaan berdasarkan kesan dari publik eksternalnya.

3. Citra Keinginan (Wish Image): yaitu kesan yang memang diharapkan terjadi oleh perusahaan atau seperti apa yang diinginkan dan dicapai oleh pihak manajemen terhadap organisasi, atau produk yang ditampilkan tersebut lebih dikenal (good awareness), menyenangkan dan diterima dengan kesan yang selalu positif diberikan (take and give) oleh publiknya.

4. Citra Perusahaan (Corporate Image): yaitu kesan yang berkaitan dengan sosok perusahaan sebagai tujuan utama sehingga bisa diterima oleh publiknya. Misalnya tentang sejarah, kualiat pelayanan, keberhasilan, tanggungjawab sosial.

5. Citra Serbaneka (Multiple Image): yaitu kesan yang berkaitan dengan aspek untuk lebih mengenalkan (awareness) terhadap identitas perusahaan. Seperti: atribut, logo, brand’s name, seragam, para front liner, sosok gedung, dekorasi lobi kantor, penampilan para profesionalnya.

Sementara menurut Sutojo[8] dalam Ardianto, ada tiga jenis citra yang dapat ditonjolkan perusahaan: (1) Citra ekslusif, yaitu citra yang dapat ditonjolkan pada perusahaan-perusahaan besar. Yang dimaksud dengan eksklusif adalah kemampuan menyajikan berbagai macam manfaat terbaik kepada konsumen dan pelanggan; (2) Citra inovatif, yaitu citra yang menonjol karena perusahaan tersebut pandai menyajikan produk baru yang model desainnya tidak sama dengan produk sejenis yang beredar dipasaran; (3) citra murah meriah, yaitu citra yang ditonjolkan oleh perusahaan yang mampu menyajikan produk dengan mutu yang baik, tetapi harganya murah.

Citra dari sebuah perusahaan adalah fungsi dari bagaimana konstituen milihat dari organisasi tersebut berdasarkan atas semua pesan yang organisasi itu sampaikan melalui logo dan melalui presentasi diritermasuk enkpresi-ekpresi dari visi korporatnya. Konstituen sering memiliki persepsi tertentu mengenai sebuah organisasi sebelum mereke bahkan mulai berinteraksi dengannya. Setelah berinteraksi dengen organisasi, konstituen mengkin memiliki citra yang berbeda dari sebelumnya. Jika ini terjadi, tujuan utamanya adalah untuk membangun citra yang lebih baik, dan memperbaiki kondisi. Ketika organisasi telah mempunyai citra yang baik dimata konstituennya dan telah dibuktikan dengan aksi-aksi yang sesuai dengan apa yang tekah dijanjikan kepada konstituen, maka akan terbentuk reputasi yang solid. Argenti[9] dalam bukunya mengatakan landasan sebuah reputasi yang solid adalah ketika identitas perusahaan dan citranya selaras. Masih dalam Argenti, Charles Fobrun[10] mengatakan bahwa dalam perusahaan dimana reputasi dihargai dengan menjalankan praktik-praktik membentuk sebuah identitas yang unik dan memproyeksikan satu set cerita yang koheren dan konsisten kepada publik.

Argenti juga menjelaskan reputasi berbeda dengan citra karena dibangun dalam waktu yang lama dan bukan hanya sebuah presepsi pada waktu tertentu. Reputasi berbeda dari identitas karena reputasi merupakan produk dari konstituen internal dan eksternal, sedangkan identitas dibangun oleh konstituen internal perusahaan.

Menurut Charles J. Fombrun[11], penulis buku Reputation : Realizing Value From The Corporate Image (1996). Ada 2 hal penting yang perlu dilewati untuk mencapai reputasi organisasi ; ke-2 hal tersebut adalah Identitas organisasi dan Citra organisasi. Reputasi mencerminkan persepsi publik terkait mengenai tindakan-tindakan organisasi yang telah berlalu dan prospek organisasi di masa datang, tentunya dibandingkan dengan organisasi sejenis atau pesaing.

Reputasi adalah hasil dari konsistensi antara citra yang dikomunikasikan dan identitas yang ditampilkan. Reputasi terbentuk dari berbagai macam citra dari berbagai macam konstituen yang dibangun dalam waktu yang relatif lama. Reputasi bisa berdampak pada loyalitas konstituen kepada organisasi.

2.4 Berita Televisi

Dean L. Spencer[12] dalam karyanya yang berjudul News Writing yang kemudian dikutip oleh George Fox Mot (New Survei Jurnalism) menyatakan bahwa berita dapat didefinisikan sebagai setiap fakta yang akurat atau ide yang dapat menarik sejumlah perhatian bagi sebagian besar jumlah pembaca.

Sementara Suratno[13] mendefinisikan berita sebagai Informasi hangat yang disajikan kepada umum mengenai yang terjadi dan sesuatu yang menarik perhatian komunitas serta merupakan informasi mengenai peristiwa atau ide yang menarik perhatian dan mempengaruhi kehidupan manusia.

Klaus Brushn Jensen[14] mengatakan “and yet news channel must differentiate themsleve, their birand to audience”. Program acara berita harus dapat membedakan dari dengan program berita yang lain sehingga ada penekanan identitas organisasi kepada khalayak.

Robert K. Avery[15] dalam Mariana mengatakan salah satu dari fungsi media adalah “Transmision of the social heritage from one generetions to the next”. Dengan kata lain media berfungsi menyalurkan nilai_nilai kebudayaan dari generasi satu ke generasi lainnya.

Media televisi mempunyai kelebihan, Kuswandi[16] mengatakan kekuatan media televisi adalah telah menguasai jarak dan ruang akrena teknologi televisi telah menggunakan teknologi eletromagnetik, kabel fiber dan gelombangnya dipancarkan melaui satlit. Sasaran yang dicapai menjangkau khalayak yang cukup besar dan nilai aktualitas terhadap suatu liputan sangat cepat. Daya rangsang seseorang terhadap televisi cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh kekuatan suara da gambar yang bergerak. Selain itu,daya tarik televisi adalah informasi yang disampaikan relative lebih singkat, jelas dan sistemantis. Sehingga pemirsa dengan menudah menangkap pesan yang disampaikan.

2.5 Bahasa Dalam Televisi

Dalam studi sosiolinguistik[17] bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Salah satu fungsi bahasa adalah fungsi direktif[18]. Dilihat dari sudut pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi direktif, yaitu mengatuf tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara.

Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna.

Morrisan[19] mengatakan kemasan berita sangat menetukan apakah penonton akan terus atau menindah saluran. Masih menurut Morrisan, prinsip utama ketika menentukan penulisan naskah berita adalah bahsa yang sederhana. Intinya, semakin sederhana suatu naskah berita akan semakin baik, dan bahasanya akan semakin mudah dipahami.

Sementara Kuswandi[20] dalam Mariana mangatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi paling vital dalam kehidupan social. Televisi adalaha media yang mampu menyatukan gambar dan bahasa. Masih menurut Kuswandi, fungsi bahasa dalam televisi salah satunya adalah sebagai alat promosi, dimana bahasa menjadi alat permainan atau manipulasi oleh pihak televisi untuk menjual barang produksi dalam bentuk iklan atau tayangan.

3. Pembahasan

3.1. JTV dan Pojok Kampung

JTV[21] merupakan salah satu pioner televisi swata lokal di Jawa Timur. Tayang perdana sejak 8 november 2001, JTV yang merupakan singkatan dari Jawa Pos Media Televisi adalah anak perusahaan yang ke 95 dari Jawa Pos Grup. Visi dari JTV sendiri adalah lahir dari gagasan inovatif untuk menjadikan sebagai lembaga penyiaran swasta Jawa Timur yang berbasis lokal. Turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, bersifat independen, objektif dan jujur. Berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat. Visi lain dari JTV adalah untuk membangun pertelevisian yang berkarakter dan bercirikhas Jawa Timur sera melakukan pencerahan terhadap segala potensi dan seni budaya Jawa Timur. Sedangkan misi dari JTV antara lain (1) ikut mencerdaskan bangsa terutama masyarakat Jawa Timur melalui program-program siaran berita; (2) menggali, mencerahkan dan menggairahkan kehidupan social budaya Jawa Timur; (3) menjadi partner bagi masyakakat dan pemerintah dalam mendorong dan meningkatkan pertumbukan ekonomi, terutama di daerha Jawa Timur; (4) menjaga dan meningkatkan kerukunan antar umat beragama, entis dan golongan.

Identitas Jawa Timur sangat terlihat pada JTV dengan slogannya “JTV Reek!!!” JTV mencoba dan berusaha menjadi televisi kebanggaan masyarakat Jawa Timur dengan menyajikan program-program acara yang unik dan menarik dengan mencoba melibatkan masyarakat Jawa Timur pada umumnya. JTV sebagai televisi swasta lokal mencoba mengedepankan konten-konten lokal sebagai sajian utama, seperti B-Cak (Berita Kocak), Cangkruan, Kartolo, Jatim Isuk, Jatim Awan, Ngetoprak dan Pojok Kampung.

Dari sekian banyak program acara yang dimiliki oleh JTV, program yang paling mengundang banyak perhatian dari masyarakat Jawa Timur adalah Pojok Kampung. Pojok kampung merupakan tayang berita lokal Jawa Timur dan sekitarnya dengan menggunakan bahasa jawa khas “Suroboyo-an”. Tema berita Pojok Kampung meliputi Politik, Sosial, Ekonomi, criminal dan berita-berita lain di Jawa Timur. Tayangan Pojok kampung tidak memiliki segmentasi tersendiri dalam penayangannya. Berita Pojok Kampung diperuntukkan kepada seluruh kalangan yang ada di Jawa Timur yang ingin mengetahui kabar berita yang sedang terjadi di Surabaya adan Jawa Timur pada umumnya. JTV melalui tayangan Pojok Kampung menyajikan berita dengan bahasa lokal “Suroboyo-an” dengan tujuan agar dapat dinikmati pada semua kalangan masyarakat Jawa Timur. Seperti yang disampaikan oleh Brushn Jensen[22], “and yet news channel must differentiate themsleve, their brand to audience”. Program acara berita harus dapat membedakan dari dengan program berita yang lain sehingga ada penekanan identitas organisasi kepada khalayak.

Pojok kampung dikemas dengan menggunakan bahasa yang unik, yaitu bahasa “Suroboyo-an” yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi bahasa yang unik dan menarik juga memberikan kesan tersendiri kepada pemirsa. Bahasa yang digunakan memang sedikit kasar, Contohnya kata “Hohohihe” berarti berhubungan intim, kata ini biasanya digunakan pada saat segmen berita criminal. Atau contoh kata lain, “kedadeane mari beduk adzan dzhur dobol” yang artinya “kejadiannya setelah beduk adzan berbunyi”. Kata “dobol” adalah kata yang dimodifikasi, “dobol” yang sebenarnya adalah bermakna bodoh, kata ini biasanya digunakan sebagai umpatan dalam percakapan sehari-hari. Contoh, “koyo’ngono ae gak iso koen, dobol!!” yang artinya, “kayak gitu aja kok gak bisa, bodoh!!”. Dapat kita lihat, kata “dobol” yang digunakan dalam tayangan pojok kampung bukanlah makna yang sesungguhnya, tetapi telah melalui proses modifikasi sehingga kata dobol berubah makna dan layak untuk digunakan sebagai bahasa berita.

Avery[23] mengatakan salah satu dari fungsi media adalah “Transmision of the social heritage from one generetions to the next”. Dengan kata lain media berfungsi menyalurkan nilai-nilai kebudayaan dari generasi satu ke generasi lainnya. JTV melalui tayangan Pojok Kampung secara tidak langsung menyalurkan nilai-nilai budaya dengan menggunakan bahasa khas “Suroboyo-an” ditengah gencarnya media-media Ibu Kota yang menyajikan tayangan modern tanpa mempertimbangkan kearifan lokal dari daerah lain. Pojok Kampung bisa menjadi salah satu solusi pilihan bagi warga Jawa Timur yang ingin mengakses berita lokal dengan bahasa unik, ringan dan mudah dipahami.

Selain berfungsi untuk memberikan pamahaman yang mudah kepada pemirsanya, bahasa yang unik dalam tayangan JTV juga berfungsi sebagai alat sesuatu yang secara tidak langsung memberikan keuntungan secara materi. Seperti yang disampaikan oleh Kuswandi[24] fungsi bahasa dalam televisi salah satunya adalah sebagai alat promosi, dimana bahasa menjadi alat permainan atau manipulasi oleh pihak televisi untuk menjual barang produksi dalam bentuk iklan atau tayangan.

Berita televisi sampai sekarang masih diasumsikan menjadi media yang paling efektif dalam menjangkau khalayak. Seperti halnya tayangan berita Pojok Kampung. Kuswandi[25] mengatakan kekuatan media televisi adalah telah menguasai jarak dan ruang. Sasaran yang dicapai menjangkau khalayak yang cukup besar dan nilai aktualitas terhadap suatu liputan sangat cepat. Daya rangsang seseorang terhadap televisi cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh kekuatan suara dan gambar yang bergerak. Selain itu,daya tarik televisi adalah informasi yang disampaikan relative lebih singkat, jelas dan sistemantis. Sehingga pemirsa dengan mudah menangkap pesan yang disampaikan.

3.2. Bahasa Sebagai Identitas Korporat

Salah satu fungsi bahasa adalah fungsi direktif[26], yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara. Penulis melihat, adanya bahasa yang di modifikasi dalam tayangan Pojok Kampung JTV, sebagai suatu hal yang membedakan tayangan berita Pojok Kampung JTV dengan tayangan berita yang lain sehingga menjadi suatu hal yang unik dan dapat memberikan kesan tersendiri bagi pemirsa. Bahasa termasuk dalam konten berita, karena dengan bahasa konten tersebut dapat disampaikan dan dapat dicerna oleh pemirsanya. Seperti yang dikatakan Morrisan[27] kemasan berita sangat menetukan apakah penonton akan terus atau menindah saluran. Prinsip utama ketika menentukan penulisan naskah berita adalah bahasa yang sederhana. Intinya, semakin sederhana suatu naskah berita akan semakin baik, dan bahasanya akan semakin mudah dipahami. Penulis mendapat kesempatan untuk mewawancarai dengan Wahyu Setioning Budi atau yang biasa dipanggil Ani, salah satu anchor woman JTV Biro Malang, berikut prnyataannya tentang bahasa Jawa “Suroboyoan” yang digunakan dalam tayangan Pojok Kampung:

“..bahasa Suroboyoan itu memang awalnya digunakan untuk kebutuhan berita saja, karena segmen dari tayangan pojok kampung itu untuk masyarakat Jawa Timur yang menengah kebawah. Bahasanya juga dimodifikasi karena biar unik dan bisa bedain dengan berita di stasiun televise yang lain. Tetapi kami tidak menyangka ternyata banyak yang suka sama tayangan Pojok Kampung, bahkan dari kalangan yang menengah keatas juga suka. Mulai dari situ, kalau orang-orang liet JTV ya keingetnya sama Tayangan Pojok Kampung..”

(Wawancara dengan Wahyu Setioning Budi, via telpon tanggal 17 Januari 2011)

Dari pernyataan Ani, dapat dianalisis bahwa Pesan yang unik yang disampaikan dalam tayanngan berita, dapat memberikan kesan bahwa bahasa yang unik adalah sebagai representasi dari organisasi. Bahasa “Soroboyo-an” yang telah di modifikasi menjadi yang awalnya hanya digunakan untuk kebutuhan berita saja menjadi sebuah hal yang sangat melekat dengan identitas JTV. Argenti[28] mengatakan identitas sebuah perusahaan adalah manifestaasi aktual dari realita perusahaan seperti yang disampaikan melalui nama perusahaan, logo, moto, produk, layanan, bangunan, alat tulis, seragam dan barang-barang bukti nyata yang diciptakan oleh organisasi tersebut dan komunikasi kepada beragam konstituen. Konstituen kemudian membentuk persepsi berdasarkan pesan-pesan yang perusahaan tersebut kirimkan dalam bentuk nyata. Apabila menelaah dari pernyataan Argenti dan mengimplementasikan dalam tayangan Pojok Kampung JTV, penulis bisa mengkritisi bahwa Identitas korporat tidak selamanya adalah sesuatu yang terlihat (tangible) tetapi juga sesuatu yang tidak terlihat tetapi tetap memberikan bukti nyata yang bisa dirasakan oleh para konstituen. Identitas korporat yang ditonjolkan oleh perusahaan-perusahaan seringkali menekankan pada hal yang berwujud tetapi belum tentu memberikan impresi yang medalam bagi publiknya. Dalam industri media massa televisi seperti JTV bahasa yang digunakan dalam penayangan acaranya pun bisa menjadi identitas perusahaan tersendiri. Bahasa yang digunakan dalam tayangan acara justru dapat membatu mengilustrasikan tindakan-tindakan nyata perusahaan dalam menjalankan organisasinya. JTV dengan bahasa Jawa “Suroboyo-an” dapat mengilustriskan bahwa dalam menjalankan keseharian organisasinya menggunakan budaya Jawa Timur. Didukung dengan jargon “JTV Reek!!” semakin menguatkan JTV di mata khalayaknya sebagai televise yang dekat dan bersahabat dengan pemirsanya. Perlu diketahui “Rek” atau “Arek” merupakan sapaan akrab yang biasa digunakan apabila sudah mempunyai kedekatan hubungan bagi masyarakat Jawa Timur dan Surabaya pada khususnya. Dengan Jargon ini JTV bermaksud untuk membangun kedekatan dengan para konstiuensnya terutama konstituen local yang dalam hal ini adalah pemirsa setianya.

Identitas korporat hendaknya disesuaikan dengan visi dan misi organisasi. Seperti yang dikatakan Argenti[29], visi dalam sebuah organisasi harus diwujudkan secara konsisten diseluruh elemen identitasnya, muai dari logo, moto hingga sikap karyawannya. Salah satu visi dari JTV adalah membangun pertelevisian yang berkarakter dan bercirikhas Jawa Timur serta melakukan pencerahan terhadap segala potensi dan seni budaya Jawa Timur. Salah satu wujud konsisten visi JTV adalah menggunakan bahasa Jawa “Suroboyoan” dalam tayangan beritanya sebagai bentuk dari pembangunan karakter organisasi yang bercirikhas Jawa Timur dan dapat mengekplorasi potensi budaya yang dikembangakan melalui bahasa Jawa “Suroboyo-an”.

Salme[30] yang disadur Ardianto, mengatakan bahwa Identitas merupakan pernyataan singkat perusahaan kepada masyarakat tentang apa dan siapa mereka. Identitas perusahaan dapat membedakan perusahaan yang satu dengan yang lainnya. Dalam tayangan Pojok Kampung JTV, penggunaan bahasa Jawa “Suroboyo-an” merupakan salah satu identitas korporat yang sangat melekat. Identitas korporat yang dalam hal ini adalah bahasa jawa Suroboyoan merepresentasikan eksistensi dari JTV, merangkum sejarah, kepercayaan, filosofi, teknologi, sumber daya manusia, nilai-nilai etis dan kultural, serta strategi organisasi. Sebagai pembeda (uniqueness) antara JTV dengan TV Lokal yang lain, bahasa Suroboyoan menunjukkan definisi dan identifikasi karakter atau personalitas JTV. Identitas korporat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari corporate branding. Dengan demikian, bahasa jawa ”Soroboyo-an” sebagai identitas korporat adalah suatu yang tepat dalam mencerminkan konstruk yang positif, kuat, dan memberi impresi yang membekas dan dalam bagi para konstituensnya.

3.3. Citra yang dihasilkan dari Identitas Korporat

Citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebah perusahaan, seseorang, suatu komite atau suatu aktivitas. Dalam membentuk citra, diperlukan juga keunggulan dalam penekanan identitas korporat. Identitas adalah ciri khas atau atribut yang melekat pada sesuatu yang menjadi pembeda dengan sesuatu lainnya. Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra organisasi. Dengan kata lain salah satu pembentuk citra adalah apa yang dihasilkan dari organisasi mengkomunikasikan identitasnya kepada konstituen. Seperti yang dikatakan Argenti[31], bahwa citra adalah sebuah cerminan dari identitas organisasi. Dengan kata lain citra adalah organisasi sebagaimana terlihat dalam sudut pandang konstituennnya. Tergantung dari konstituen mana yang terlibat, sebuah organisasi dapat memiliki banyak citra yang berbeda. Dengan begitu untuk mengerti identitas dan citra sama dengan mengetahui seperti apa organisasi itu sebenarnya dan kemana ia menuju.

Citra yang dihasilkan dari identitas bahasa yang diciptakan oleh JTV melalui tayangan Pojok Kampung, Dari identitas inilah yang akan membentuk citra dimata masyarakat bahwa JTV adalah korporasi media yang merepresentasi dari pemirsanya dan membuktikan reputasi JTV yang sangat menjunjung tinggi kearifan lokal. Jefkin[32] dalam Ardianto mengatakan bahwa citra adalah kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalamannya. Citra adalah kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta-fakta atau kenyataan. JTV melalui tayangan Pojok Kampung ingin memberikan dampak kognitif kepada masyarakat Jawa Timur, dengan adanya tayangan Pojok Kampung ini menunjukan bahwa JTV adalah representasi dari warga Jawa Timur. Hal ini juga selaras dengan Citra[33] yang ingin dibentuk oleh JTV melalui tayangan pojok kampung adalah Citra Serbaneka (Multiple Image) dimana JTV ingein memberikan kesan yang berkaitan dengan aspek untuk lebih mengenalkan (awareness) terhadap identitas perusahaan. Dengan menggunakan bahasa yang khas ”Suroboyo-an” dalam program tayangan beritanya. Sementara menurut Sutojo dalam Ardianto, citra yang akan ditonjolkan JTV adalah Citra inovatif, yaitu citra yang menonjol karena JTV menyajikan produk baru yang dalam hal ini adalah tayangan berita Pojok Kampung yang model desainnya dalam pengemasan tayangan tidak sama dengan tayangan sejenis yang ada di stasiun televisi lain.

Ketika organisasi telah mempunyai citra yang baik dimata konstituennya dan telah dibuktikan dengan aksi-aksi yang sesuai dengan apa yang telah dijanjikan kepada konstituen, maka akan terbentuk reputasi yang solid. Argenti[34] dalam bukunya mengatakan landasan sebuah reputasi yang solid adalah ketika identitas perusahaan dan citranya selaras. Fobrun[35] mengatakan bahwa dalam perusahaan dimana reputasi dihargai dengan menjalankan praktik -praktik membentuk sebuah identitas yang unik dan memproyeksikan satu set cerita yang koheren dan konsisten kepada publik. Dengan slogan JTV Reek!! dan dengan menggunakan bahasa jawa ”Suroboyo-an” sebagai bahasa dalam tayangan berita Pojok Kampung sebagai identitas perusahaan, JTV mencoba membangun reputasi dimata konstituennya sebagai stasiun televisi lokal yang menjunjung tinggi kearifan lokal dan sangat merepresentasi dari seluruh warga Jawa Timur. JTV melalui tayangan Pojok Kampung menjadi pioner dari tayangan berita yang menggunakan bahasa lokal dan kemudian menginspirasi beberapa stasiun televisi lokal Jawa Timur mengadakan tayangan yang sejenis dengan pojok kampung. Tetapi dimata masyarakat Jawa Timur, JTV lah yang sangat merepresentasinya. Citra dan identitas organiasi sebagai pembentuk reputasi juga dijelaskan oleh Charles J. Fombrun,[36] Ada 2 hal penting yang perlu dilewati untuk mencapai reputasi organisasi ; ke-2 hal tersebut adalah Identitas organisasi dan Citra organisasi. Reputasi mencerminkan persepsi publik terkait mengenai tindakan-tindakan organisasi yang telah berlalu dan prospek organisasi di masa datang, tentunya dibandingkan dengan organisasi sejenis atau pesaing.

Argenti[37] menjelaskan reputasi berbeda dengan citra karena dibangun dalam waktu yang lama dan bukan hanya sebuah presepsi pada waktu tertentu. Reputasi berbeda dari identitas karena reputasi merupakan produk dari konstituen internal dan eksternal, sedangkan identitas dibangun oleh konstituen internal perusahaan. Pojok kampung JTV tayang sejak tahun 2003 hingga sekarang. Dari awal penayangannya Pojok Kampung mendapat sambutan hangat dari warga Jawa Timur. Memang Pojok kampung sempat mendapat kritikan dari pemirsanya karena bahasa yang terkesan kasar dan vulgar. Tetapi dengan berjalannya waktu dan dengan strategi komunikasi yang tepat Pojok Kampung menjadi salah satu tayangan berita yang diperhitungkan oleh masyarakat Jawa Timur.

4. Kesimpulan

Dari makalah penulis diatas ada beberapa yang bisa disimpulkan, diantaranya adalah sebuah identitas korporat tidak hanya sesuatu yang terlihat saja (tangible), tetapi juga sesuatu yang tidak nampak tetapi juga bisa dirasakan. Dalam industri media televisi perlu strategi tersendiri dalam meningkatkan brand awareness kepada publiknya. Salah satu strateginya adalah menggunakan bahasa yang unik yang digunakan pada program acaranya. JTV sebagai pelopor televisi lokal pertama di Indonesia telah berhasil menggunakan bahasa sebagai identitas yang melekat dalam organisasinya. Bahasa Jawa ”Suroboyo-an” adalah bahasa yang digunakan pada program acara berita Pojok Kampung JTV. Tayangan berita Pojok kampung yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang unik, yaitu bahasa “Suroboyo-an” yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi tayangan yang menarik dan juga memberikan kesan tersendiri kepada pemirsa. Selain itu, bahasa Jawa Suroboyoan dalam JTV membawa angin segar bagi industri media televisi lokal yang sering kali kehabisan ide dalam mengeksplorasi identitas kedaerahannya.

Bahasa jawa Suroboyoan yang digunakan sebenarnya bukan bahasa jawa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Jawa Timur. Akan tetapi dengan bahasa yang sedikit dimodifikasi dan terkesan sedikit kasar memberikan kesan dan pesan yang kuat sehingga memberikan hegemoni bahwa bahasa Jawa Timur adalah bahasa yang digunakan dalam Pojok Kampung JTV. Melihat dari strategi ini menunjukan bahwa, merubah bahasa untuk meningkatkan brand awwareness adalah suatu yang baru. Selain itu, strategi ini menunjukan bahwa JTV berhasil menggunakan pendekatan cultural dalam menekankan identitas korporat, diamana sebuah industri media massa berhasil mengelola persepsi atau gambaran (perception management) yang hendak dibangun (dijual) atau yang akan diberikan kepada publik. Pesan yang unik yang disampaikan dalam tayanngan berita, dapat memberikan kesan bahwa bahasa yang unik adalah sebagai identitas dari organisasi. Bahasa “Soroboyo-an” yang telah dimodifikasi menjadi identitas JTV sehingga menjadi hal yang sangat melekat dengan identitas JTV.

Dari identitas inilah, JTV menghasilkan citra yang positif, yang akan membentuk citra dimata masyarakat bahwa JTV adalah korporasi media yang merepresentasi dari pemirsanya dan membuktikan reputasi JTV yang sangat menjunjung tinggi kearifan lokal. Ketika organisasi telah mempunyai citra yang baik dimata konstituennya dan telah dibuktikan dengan aksi-aksi yang sesuai dengan apa yang telah dijanjikan kepada konstituen, maka akan terbentuk reputasi yang solid. Didukung dengan slogan JTV Reek!! dan dengan menggunakan bahasa jawa ”Suroboyo-an” sebagai bahasa dalam tayangan berita Pojok Kampung sebagai identitas perusahaan, JTV mencoba membangun reputasi dimata konstituennya. JTV melalui tayangan Pojok Kampung menjadi pioner dari tayangan berita yang menggunakan bahasa lokal dan kemudian menginspirasi beberapa stasiun televisi lokal Jawa Timur mengadakan tayangan yang sejenis dengan pojok kampung. Tetapi dimata masyarakat Jawa Timur, JTV lah yang sangat merepresentasinya.

Daftar Pustaka

Ardianto, Elfinaro.(2011) Handbook of Pubic Relations. Bandung: Simbiosa

Argenti, Paul. (2010). Corporate Communications. Jakarta, Indonesia: Salemba Humanika

Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie.(2010) Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta,

Jensen, Klaus Brushn. (2008). Hand Book Of Media And Communications Research. London and New York : Routledge

Jefkins, Frannk.(1988). Esensial of Public Relations. Singapore: Heineman Publisher

Mariana, Kristarini. (2005). Skripsi: Sikap Tokoh Masyarakat Surabaya terhadap Bahasa “Suroboyo-an” dalam berita Pojok kampung JTV Surabaya. UK Petra Surabaya.

Morissan. (2004) Jurnalistik Televisi. Ghalia Indonesia. Bogor.

Muda,Deddy Iskandar. 2003. Jurnalistik Televisi. Bandung, Rosda Karya.

Muwafik, Akh. 2010. Public Service Communications. Malang. UMM Press.

Suratno, Hanif. 2002. Menjadi Wartawan Lokal. Jakarta, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.

Non Buku

Muwafik .Akh Saleh. Presentasi dalam Perkuliahan Management Citra Perusahaan. Fisip UB. Malang 2006.

http://www.jtv.co.id/tentangkami.php



[1] Akh. Muwafik Saleh. Public Service Communications. Malang 2010. Hlm 56

[2] Paul.A Argenti. Corpotare Communications. Jakarta. 2010. Hlm 78

[3] Elvinaro Ardianto. Handbook of Pubic Relations. Bandung 2011. Hml 60

[4] Frannk Jefkins, Esensial of Public Relations. Singapore 1988. Hlm 159)

[5] Paul.A Argenti. Corpotare Communications. Jakarta. 2010. Hlm 76.

[6] Elvinaro Ardianto. Handbook of Public Relations. Bandung 2011. Hlm 62

[7] Akh. Muwafik Saleh. Public Service Communications. Malang 2010.Hal 86-87

[8] Elvinaro Ardianto. Handbook of Public Relations. Bandung 2011. Hlm 65

[9] Paul.A Argenti. Corpotare Communications. Jakarta. 2010. Hlm 95

[10] ibid Hlm 95

[11] Akh Muwafik Saleh dalam Perkuliahan Management Citra Perusahaan. Fisip UB. Malang 2006.

[12] Dedi Iskandar Muda,: Jurnalistik Televisi. Bandung 2003. Hlm 21.

[13] Hanif Suratno; Menjadi Wartawan Lokal. Jakarta 2002. Hlm.7

[14] Klaus Brushn Jensen: Hand Book Of Media And Communications Research. London and New York 2008 . Hlm 84

[15] Kristarini Mariana. Skripsi: SIkap Tokoh Masyarakat Surabaya terhadap Bahasa “Suroboyo-an” dalam berita Pojok kampung JTV Surabaya. UK Petra Surabaya 2005. Hlm 16

[16] Ibid. Hlm 17

[17] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal 11

[18] Ibid, hal 15

[19] Morissan: Jurnalis Televisi. Bogor 2004. Hlm 297

[20] Kristarini Mariana. Skripsi: SIkap Tokoh Masyarakat Surabaya terhadap Bahasa “Suroboyo-an” dalam berita Pojok kampung JTV Surabaya. UK Petra Surabaya 2005. Hlm17

[21] http://www.jtv.co.id/tentangkami.php

[22] Klaus Brushn Jensen: Hand Book Of Media And Communications Research. London and New York 2008 . Hlm 84

[23] Kristarini Mariana. Skripsi: SIkap Tokoh Masyarakat Surabaya terhadap Bahasa “Suroboyo-an” dalam berita Pojok kampung JTV Surabaya. UK Petra Surabaya 2005. Hlm 16

[24] Kristarini Mariana. Skripsi: SIkap Tokoh Masyarakat Surabaya terhadap Bahasa “Suroboyo-an” dalam berita Pojok kampung JTV Surabaya. UK Petra Surabaya 2005. Hlm 18

[25] Ibid. Hlm 17

[26] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 2010). hal 15

[27] Morissan: Jurnalis Televisi. Bogor 2004. Hlm 297

[28] Paul.A Argenti. Corpotare Communications. Jakarta. 2010. Hlm 78

[29] Paul.A Argenti. Corpotare Communications. Jakarta. 2010. Hlm 86

[30] Elvinaro Ardianto. Handbook of Pubic Relations. Bandung 2011. Hml 60

[31] Paul.A Argenti. Corpotare Communications. Jakarta. 2010. Hlm 76.

[32] Elvinaro Ardianto. Handbook of Public Relations. Bandung 2011. Hlm 62

[33] Frank Jefkin dalam Muwafik. Public Service Communications. Malang 2010. Hlm 86-87

[34] Paul.A Argenti. Corpotare Communications. Jakarta. 2010. Hlm 93.

[35] Ibid.

[36] Akh. Muwafik Saleh, dalam Presentasi perkuliahan Managemen Citra Perusahaan. FISIP UB,Malang 2006.

[37] Paul.A Argenti. Corpotare Communications. Jakarta. 2010. Hlm. Hml 95