Selasa, 02 September 2008

FENOMENA INDUSTRIALISASI MEDIA: DARI ZAMAN ORDE LAMA, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI

Oleh: Muhammad Najih Farihanto, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang..

INTRODUCTION....

Apa yang pertama dalam pikiran kita ketika mendengar kata industri???? Buruh, pabrik, investor asing, export, import dan tak lupa adalah profite oriented. Begitu juga dengan industri media yang sedang berkembang sekarang ini. Industri media di Indonesia memang sedang berkembang pesat, terbukti dengan menjamurnya korporasi media baik cetak maupun elektronik. Sebut saja Jawa Pos Grup yang mempunyai beberapa anak cabang di setiap daerah . Apabila kita menengok kebelakang, perkembangan industri media dimulai pada masa setalah jatuhnya rezim orde baru yang digantikan dengan era Reformasi. Mengingat banyak sekali penbredelan-pembredelan media massa terutama media cetak yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Pada masa reformasi kebebasan pers sangat dijunjung tinggi sehingga para pekerja media dalam hal ini pers dengan bebas dapat mengekspresikan apa-apa yang terjadi di masyarakat tanpa perlu takut akan kontrol dari pemerintah. Pers bebas meliput berita apapun dan yang dianggap dapat menarik animo dari masyarakat.

Mengingat pesatnya perkembangan industri media saat ini, dalam tulisan ini akan memaparkan perkembangan media massa terutama cetak dari Zaman Orde Lama yang merupakan awal kebangkitan Indonesia, Orde Baru yang penuh dengan tekanan dan intervensi dari pemerintah, dan Era reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan Pers. ENJOY.....

PERS DI MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU

Pers tidak jauh dari dunia politik, di indonesia sendiri perkembangan pers dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan politik. Pada jaman VOC, pemerintah belanda mengeluarkan haatzai artikelen yaitu undang-undang yang membatasi pers dan agar tidak mempropaganda rakyat Indoensia terhadap pemerintah belanda.

Begitu juga dengan masa Orde lama, pemerintah melakukan pembredelan terhadap pers yang melakukan propaganda negatif kepada rakyat untuk melawan pemerintahan. Dan pada masa pemerintahan orde lama, pembredelan besar-besaran terjadi, dengan dicabutnya SIUUP ( Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) makan industri media banyak yang tidak bisa melakukan kegiatan pers.

Pada masa akhir orde lama, muncul pers yang mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan kemudian muncul pers parti politik, yaitu pers yang menjadi corong ideologi partai tersebut dan dibiayai oleh partai yang bersangkutan. Namun pers partai politik tidak bisa bertahan lama, kerana pemerintahan orde baru menerapkan demokrasi terpimpin. Pers pada masa itu harus mengikuti sistem politik yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi banyak sekali terjadi pergolakan-pergolakan dikalangan pers, pers tidak mau mengikiti aturan-aturan pemerintah karena hal tersebut mnyebabkan pembunuhan karakter dan ketidak bebasan pers dalam mengembangkan ideologinya.

Banyak terjadi pembredelan-pembredelan yang dilakukan pemerintah karena tidak pemgikuti peraturan pemerintah pada saan itu, pers dianggap melawan garis politik pada masa itu yaitu NASAKOM (Nasionalis, Agamis, Komunis). Pemerintah juga memenjarakan tokoh-tokoh pers dan politik yang melawan garis politik yang dianut oleh pemerintah.

Setelah peristiwa berdarah G 30 S PKI, pers mengalami penurunan kuantitas penerbitan. Hal tersebut dikerenakan kebijakan pemerintah dalam membatasi ruang gerak pers dengan mewajibkan pers meiliki SIT (surat Izin terbit) dan SIC (Surat Izin Cetak) yang dikeluarkan oleh pemerntah.

Pada saat jatuhnya orde lama dan digantikan oleh rezim orde baru, industri pers lebih berkonsentrasi dengan pemulihan keadaan negara baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Pada awal orde baru, sarat dengan muatan represif, tidak ada lagi pers bebas, pers mendapat tekanan dari segala penjuru. Untuk dikuasai oleh Negara, wartawan bisa dibeli serta pers dibredel sewaktu-waktu apabila menyimpang atau tidak sesuai dengan apa-apa yang diperintahkan oleh pemerintah pada waktu itu.

Pada sekitar tahun 1970-an, kapitalisme media mulai muncul, partai politik pada saat itu yang berjumlah puluhan digabung menjadi tiga partai politik saja. Sehingga pers yang menjadi corong ideologi para partai politik kebingungan dalam hal pencarian sumber dana yang sebelumnya dibiayai oleh partai politik. Sehingga, agar penerbitan tetap terlaksana maka para pemilik penerbitan berlomba-lomba untuk mendapatkan biaya produksi dari periklanan. Dari kondisi yang demikian, pers di Indonesia berubah dari pers yang sifatnya ideologis menjadi pers industri yang besar.

Dengan mulainya pers sebagai suatu industri maka akan banyak pula memperkerjakan para karyawan. Ditambah lagi adanya SIT, SIC dan SIUPP membuat pers pada waktu itu sering terancam ditutup. Untuk mengahadapi hal-hal yang demikian, maka beberapa penerbitan pada saat itu melakukan pengalihan dimana surat kabar-surat kabar besar mengambil manajemen dari surat kabar daerah dan memberi bantuan dana. Alasan yang digunakan tidak hanya untuk mengambil profit namun juga untuk melindungi berbagai kepentingan. Dari pengalihan tersebut muncullah yang dinamakan konglomerasi media-media besar.

Di akhir pemerintahan rezim orde baru, pada sekitar tahun 1990-an trejadi kembali penguasaan pers oleh pemerintah. Pers mulai menulis artikel-ertikel yang mengkritik dan menentang kebijakan kebijakan pemerintah. Terjadi beberapa kasus penangkapan para tokoh-tokoh pers yang dilakukan pemerintah karena tokoh tersebut dirasa telah menentang dan mengkritik kebijakan pemerintah. Pada tahun 1971, pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 2 septembef 1971, menghukum Tengku Hafaz, pimpinan Redaksi Harian Nusantara, dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun karena mengkritik pemerintah. Selain pengakapan tokoh, juga terjadi pembredelan-pembredelan media yang dianggap menentang pemerintahan orde baru. Penutupan DeTIK, Tempo, dan Editor semakin menguatkan bahwa pers pada masa itu sangat tergantung pada kondisi politik bangsa.

Contoh kasus lain pers yang terjadi pada masa orde baru diantaranya adalah:

a) Tahun 1980-an ketika sedang maraknya peristiwa bunuh diri dengan meminum pestisida, harian Kompas pernah didatangi oleh oleh seorang konsultan merek terkemuka mewakili merk dagang obat nyamuk semprot terkenal. Ia meminta agar pemberitaan yang berkaitan dengan bunuh diri tidak menyebutkan merk dagangya, meskipun faktanya demikian.

b) Pada tahun 1996, salah satu wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, dibunuh di Yogyakarta, dan pelakunya diduga kaki tangan pemerintah. Sebelum terjadi pembunuhan tersebut, Fuad Muhammad Syafruddin sedang menyelidiki kasus korupsi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dan menulis artikel mengenai kesimpulannya yang kemudian dimuat oleh Bernas.

Pers pada saat itu benar-benar sangat dibatasi kebebasanya, pemerintah yang otoriter dan regulasi yang sangat ketat membuat pers tidak bisa mengenbangkan ideologinya. Pers pada saat itu sangat dibatasi sehingga tidak mampu untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi di pemerintahan. Pers memproduksi artikel-artikel sempit, seakan-akan itu adalah perintah dari pemerintah dan tidak boleh membuat artikel atau berita yang menentang pemerintah. Semakin jelas bahwa pers (baik swasta atau pemerintah) digunalakn sebagai corong pemerintah orde baru.


PERS DI ERA REFORMASI

Di Era reformasi, tidak ada lagi pembredelan-pembredelan yang dilakukan pemerintah karena perbedaan idealis atau mengkritisi kebijakan pemerintah. Pers di Era Reformasi sangat menjunjung tinggi kebebasan. Tidak ada lagi wartawan yang dibunuh karena memaparkan korupsi pemerintah kepada publik dan tidak ada lagi penangkapan pemimpin redaksi karena berbeda idealis dengan pemerintah.

Tetapi permasalahan baru muncul setelah adanya kebebasan pers. Yaitu kekuatan modal luput diperhatikan dan untuk itu Modal inilah yang kemudian mengemuka sebagai kontrol baru atas dunia Media. Tanggung jawab sosial yang sebagai salah satu pilar dari pers sudah mulai dilupakan. Media sekarang cenderung mencari laba sebanyak mungkin demi kepentingan pemodal tanpa memperhatikan etika jurnalistik.

”Media massa sudah menjadi industri sebagai masuknya modal atau kapital dalam industri media massa sejak era 1980an”. Demikian kata ketua PWI Jatim, H Diman Abror dalam acara seminar ”membangun relasi media dengan dunia usaha” di kampus Fisip Unair Surabaya. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Drs Hebdri Subiakto SH. MA selaku staf ahli menkominfo dan juga pakar komunikasi Fisip Unair. Beliau mengatakan ” media massa saat ini bisa diperalat kapitalis akibat masuknya pemodal ke industri media”.

Pers yang kini juga menjadi penguasa dalam penyebaran infomasi juga tak lepas dari keharusan ini. Pengawasan terhadap media, karenanya diperlukan, termasuk melibatkan masyarakat, seperti lembaga pemantau media dan Dewan Pers. Kini, harus diakui pers pun kerap menjadi alat kepentingan modal.
"Media massa kini juga menjadi penguasa. Bahkan, ada pula kekuatan media yang di tengah perseteruan korporasi. Pengawasan terhadap media dan orang-orang pers pun perlu dengan kode etiknya," papar pengamat politik Universias Airlangga (Unair) Daniel Sparringga dalam acara yang sama.

Contoh kasus yang membuktikan bahwa kapitalisme berkembang dikalang media massa adalah munculya tabloid-tabloid selebritis yang merupakan pengembangan dari acara infotaiment yang tidak penting ditayangkan di televisi. Karena melihat besarnya dana yang diterima dari hasil acara itu, para pemilik media melanjutkan dengan menerbitkan tabloid-tabloid selebriti. Apa bila kita lihat lebih dalam, apa keuntungan bagi masyarakat tentang kehidupan pribadi seseorang?? Tidak lain dan tidak bukan adalah penurunan moralitas bangsa Indonesai karena menyebarkan aib sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan kita.

Contoh lain dari berkembangnya kapitalisme media adalah, terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia, walau majalah itu sudah dicekal penerbitannya tetapi itu melambangkan lunturnya moral media yang melupakan tanggungjawab sosial. Media yang menampilkan gambar perempuan irit busana dan terhadap kalimat-kalimat yang mengundang orang untuk berselingkuh, seperti disampaikan Stela (salah satu model) di awal tulisan. ”Aurat, urusan kamar tidur, juga kegemaran pribadi berganti-ganti pasangan” yang tak ada unsur kepentingan publiknya, rasanya lebih pas dibuang jauh-jauh dari pers kita.

Media sekarang benar-benar telah melupakan fungsinya sebagai sarana informasi publik. Regulasi perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah seakan-akan hanya formalitas saja.. Pada zaman orde baru dulu, pemerintah sangat mengekang media. Pemerintah saat ini justru terkesan bak macan ompong yang selalu menggembar-gemborkan perundang-undangan tetapi tidak ada hasilnya. Bukan bermaksud untuk mengembalikan dan membandingkan antara pers pada masa orde baru dengan masa sekarang, tetapi memang seperti itu adanya. Pemerintah hanya no action talk only dalam menyikapi kepitalisme media.

Seharusnya pemerintah bisa menggunakan kekuasaannya untuk melindung system media kita dari serangan kepitalisme dan liberalisme media yang membawa efek positif bagi masyarakat kita. Memang kita akui pemerintah telah berusaha dengan mengeluarkan regulasi-regulasi media, tetapi pemerintah terkesan setengah hati. Di satu sisi pemerintah memberikan regulasi untuk melindungi media dari kebebasan dan kapitalisme tetapi sisisi lain nampaknya pemerintah main mata dengan pemilik industri media. Toh bayak juga para pemilik dari perusahaan media adalah para tokoh birokrat pemerintah.

PENGARUH TERHADAP PRILAKU MASAYRAKAT…

Menurut Onong Ucjana dalam bukunya “dinamika komunikasi” berpendapat bahwa, efek dari komunikasi ada 3 yaitu efek koginitif, efek afektif dan efek behaviour. Efek kognitif muncul pada kalayak yang menyebabkan tingkat intelektualitasnya bertambah. Begitu juga pada media, media berfungsi sebagai sarana informasi khalayak. Media seharusnya dapat menambah intelektualitas masayrakat dengan menginformasikan berita yang layak untuk dikonsumsi masayarakat. Bukan informasi yang membodohi masyarakat baik secara langsung ataupun tidak langsung. Yang ke dua adalah efek afektif, komunikator bukan hanya menginformasikan dan menambah tingkat intelektualitasan komunikasn tetapi komunikan sudah mulai tergerak hatinya dan menimbulkan perasaan tertentu. Media tidak hanya menginformasikan pesan kepada khalayak, tetapi media juga harus memberikan perubahan kepada khalayak. Khalayak akan menambah intelektualitasnya dan tergerak hatinya setelah membaca informasi yang disampaika oleh media. Efek yang ketiga adalah efek bahaviour, efek ini paling tinggi kadarnya. Karena dampak yang muncul dari komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator dalam bentuk prilaku, tindakan atau kegiatan. Media sebagai agen of canging harus memberikan dempak yang baik bagi khalayak. Media teidak hanya menambah intelektulitasan khlayak, dan penggerak hati tetapi juga merubah prilaku khalayak.

Apabila kita melihat kapitalisme media yang mengutamakan profite, rasanya efek-efek yang diberikan kepada khlayak cenderung negatif. Mereka hanya mencari human interest saja, tanpa memperhatikan sisi edukasinya. Maysarakat diajak untuk subjektif dalam memandang sesuatu. Padahal, sebuah media seharusnya objektif dalam menginformasikan berita kepada khalayak. Apabila kita melihat realitas yang ada, masyarakat indonesia masih banyak yang belum melek media.

Secara opini publik, masyarakat dibagi menjadi tiga kalangan, yaitu :

  1. general publik, yaitu masyarakat yang mudah dimobilisasi, mudah tepengaruh, dan mudah untuk dipropaganda.
  2. atentif publik, yaitu kalangan yang kritis dan sadar akan realitas yang ada.
  3. elit publik, yaitu kalangan yang membuat kebijakan seperti pemerintah, DPR dll.

Masyarakat Indonesia masih banyak yang termasuk kalangan general publik, mereka mudah dimobilisasi, mudah terpengaruh dan mudah dipropaganda. Penyababnya adalah tingkat pendidikan yang masih rendah di Indonesia. Sebenarnya media bisa digunakan sebagai alat edukasi pengganti sekolah. Tetapi justru media lah yang menyebabkan moral masyarakat indonesai semakin bobrok. Banyak media yang menginformasikan kepada kahayak kurang objektif, hanya memandang dari satu sisi dan masyakakat indonesia terutama dari kalangan general publik menelan mentah-mentah informasi tersebut.

Kita sebagai kalangan atnetif publik seharusnya tidak tinggal diam dalam permasalaan seperti ini. Kita harus menyadarkan masyarakat agar tidak terbodohi oleh media yang lebih mementingkan profite dari pada tanggungjawab sosial. Kita tahu bahwa salah satu fungsi dari media adalah to educate atau sebagai sarana pendidikan disamping pendidikan formal. Kita manfaatkan media semaksimal mungkin, dan kita jangan menerima mentah-mentah informasi dari media. Kita cari tahu dulu kebenarannya, apakah itu fakta atau berita yang sudah tercampur oleh opini.dan yang jelas kita harus ojektif dalam memandang suatu informasi.

Daftar Pustaka

www.rumahkiri.com, Media Massa dan Reproduksi Ideologi: Lepas dari Cengkeraman Negara, Terjebak Logika Modal.(diakses pada tanggal 17 April 2008)

Rikando somba, www.sinarharapan.com Pers dan Industri Media Perlu Audit .(diakses pada tanggal 17 April 2008)

Edy M Ya`kub, www.antaranews.com, Industri media massa perlu diatur. .(diakses pada tanggal 17 April 2008)

Muh. Sirul Haq, , Keberpihakan media .(diakses pada tanggal 17 April 2008)

www.dye.com , Desakan Media Liberal di Indonesia, .(diakses pada tanggal 17 April 2008)

Uchjana, Onong, 2002. Dinamika Komunikasi cetakan ke lima. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Silfa Pernika Reskhy, Kondisi Pers Indonesia Pada Masa Orde Baru.


stereotype budaya blangkon

oleh: Muhammad Najih Farihanto, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.

Definisi Budaya

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kita selama ini mengenal budaya sebagai kesenian khas dari daerah-daerah. Terutama dari seni suara dan tari. Tetapi istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu social, maka kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudaaan.

Kata kebudayan dimabil dari bahasa Sangsekerta buddhayah yang merupaka bentuk jamak dari kata ”budhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudaan dapat diartikan sebagai ” hal-hal yang bersabgkutan dengan budi atau akal”.( Sosiologi suatu pengantar, Soerjono Soekanto, hal:154)

Kita dilahirkan oleh budaya, budayalah yang membesarkan dan membentuk kita. Budaya memnadu kita untuk mempersepsi dunia. Budaya memperkenalkan siapa kita, bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain dan bagaimana kita mencari dan mencapai tujuan kita. Dengan kata lain budaya sangat berperan dalam hidup kita, apa yang kita bicarakan, apa yang kita lihat, apa yang kita pikirkan dipengaruhi oleh budaya

. Hal serupa juga dikatakan oleh Trenholm dan Jensen dalam buku Komunikasi Efekti yang ditulis Oleh Deddy Mulyana. Mereka mengatakan bahwa budaya adalah seperangkat nilai, kepercayaan, norma, dan adat istiadat, aturan dan kode yang secara sosial mendefinisikan kelompok-kelompok orang yang mengikat satu sama lain dan memberikan kesadarann bersama. Mereka juga mengemukakan lebiha jauh bahwa budaya adalah jawaban kolektif terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar : siapa kita? Bagaimana tempat kita didunia? Dan bagaimana kita menjalani kehidupan kita?

Budaya Blangkon dan Semua Permasalahannya

Blangkon adalah tutup kepala yang terbuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa.untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut mereka dibagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon.(http://id.wikipedia.org/wiki/Blangkon)

Blangkon yang mempunyai beberapa jenis, yaitu blangkon Khas Yogyakarta dan blangkon Khas Surakarta. Blangkon yang mempunyai ”mondolan” adalah blangkon khas Jogjakarta, hal ini dikarenakan pada waktu itu, awalnya laki-laki Jogja memelihara rambut panjang kemudian diikan keatas (seperti Patih GajahMada) kemudian ikatan rambut disebut gelungan kemudian dibungkus dan diikat, kemudain berkembang menjadi blangkon, yang kemudian menjadikan salah satu filosofi masayrakat jawa yang pandai menyimpan rahsia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertuturkata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan ereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang jawa. Dia pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib, dia akan berusaha tersenyum dan tertawa walaupun hatinya menangis, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagai mana bisa berbuat yang terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya sendiri. Balangkon gaya Surakarta tidak menggunakan mondalan karena pria solo waktu itu lebih dulu mengenal cukur rambutkarena pengaaruh belanda, dan karan pengaruh belanda mereka mengenal jas yang bernama beskap yang berasal dari beschaafd yang berarti civilized atau berkebudaan. Tidak adanya tonjolan hanya diikatkanjadi satu dengat menikatkan dua pucuk helai di kanan dan kirinya, yang mengartikan bahwauntuk menyatukan satutujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat syahadat yang harus melekat erat dalam pikiran orangjawa.(http://www.pintunet.com/lihat_opini.php?pg=2008/02/20022008/72610&mini)

Penempatan blangkon dikepala merupakan anjuran agar segala pemikiran yang dihasilkan dari kepala tersebut selalu membawa nilai-nilai keislaman. Dalam artian sebebas apapun pemikiran yang dihasilkan oleh otak, agama islam selalu menjadi mainstream. Jadi, segala pemikirannya akan berguna bagi orang banyak, tidak malah menyengsarakan. Juga berguna bagi seluruh alam sebagaimana islam yang rahmatan lil’alamin. Makna filosofi blangkon yang kedua yaitu blangkon sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede (makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan blangkon. Setelah manusia mendapat kekuatan tersebut, resmilah ia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang tugasnya mengurus alam sesisinya. Maka tak heran jika zaman dahulu orang-orang Jawa banyak yang memakai blangkon karena mereka sadar bahwa mereka selain sebagai hamba Tuhan juga merupakan khalifah di bumi.( Fatkhul Anas, dalam tradisi Blangkon di www.satriakelana.org)

Jadi dapat kita simpulkan, filosofi Budaya Blangkon pada masyarakat jawa adalah masyarakat jawa pandai menyimpan rahsia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertuturkata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus.

Akan tetapi apabila kita melihat filosifi dari blangkon diatas, ada pergesaran nilai filosofi dari blangkon itu. Karena Filosofi sekarang tentang Masyarakat Jawa dengan Budaya Blangkon adalah sikap plintat-plintut atau hanya berani dibelakang, orang jawa itu suka ”ngerasani”, sikap seperti itu sama halnya dengan orang memakai blangkon yang pentolannya mesti dibelakang.

Ini berkaitan erat dengan masyarakat jawa yang sangat menjaga perasaan orang lain. Masayarakat jawa lebih memilih menyimpan rapat-rapat apa yang ada di dalam hatinya kepada orang lain walaupun itu menyakitkan. Seperti seorang pembantu atau anak buah yang tidak menyukai atasan atau bosnya. Tatepi mereka tetap berprilaku baik dihadapan atasannya. Asal Bapak Senang atau yang biasa disebut dengan ABS mungkin sebutan cocok bagi orang tersebut.

Dalam pandang Islam, menjaga perasaan sangat diajarkan. Dalam Al-Qur`an Surat Al-Hujarat ayat 11 dan 12 Allah SWT berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang mengolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebi baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan kamu memanggil dengan gelar yang buruk, seburuk buruk panggilan ialah panggilan sesudah iman dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka orang yang zalim.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu, adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang laindan jangan lah sebagian kamu menggunjing sebagian lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging sudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Taubat lagi maha penyayang. (Al-Hujarat ayat 11 dan 12)

Ayat diatas menyampaikan tentang larangan Allah SWT untuk berprasangka buruk, karena prasangka adalah sesuatu yang belum tentu benar. Allah SWT mengibaratkan apabila kita berprasangka buruk dengan sesama sama halnya kita memakan daging saudara kita yang sudah mati. Allah SWT juga sangat membenci orang yang suka mencela, dalam Surat Al-Humazah ayat 1 Allah berfirman:

Celaka besarlah bagi setiap orang pengumpat lagi pencela.( Al-Humazah ayat 1)

Dan dalam surat An-Nur ayat 19 Allah berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang berfirman, bagi mereka azab yang pedih didunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak ketahui.( An-Nur ayat 19)

Ayat-ayat diatas mengajarkan kepada kita agar tidak menyebarkan berita-berita yang dianggap aib dan belum tentu kebenarannya. Dan dari ayat-ayat diatas bisa kita ambil kesmpulan bahwa Islam sangat mengajarkan menjaga perasaan terhadap sesama. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rosullulah Muhammad SAW bersabda :”Jika kamu bertiga maka janganlah dua daripada kamu bercakap-cakap meninggalkan yang ketiga karena perbuatan begini akan mendukacitakannya.” (al-Bukhari dan Muslim). Yang dapat kita ambil dari Hadits tersebut adalah, yang pertama, apabila terdapat tiga orang berada dalam satu forum, maka tidak boleh dua diantara mereka berbicara dan meninggalkan orang yang ke tiga. Perbuatan ini bisa memebuat orang ke tiga merasa tidak dilibatkan dan menyebabkan buruk sangka karena ia tidak diperdulikan. Kedua,setiap orang hendaknya memahami norma-norma dalam bergaul supaya tidak timbul kecurigaan sehingga muncul perkelahian. Ketiga, kita menyampaikan sesuatu dengan pasti bukan sesuatu yang samar-samar sehingga timbul berbagai fitnah dan cerita bohong yang diada-adakan hingga mengakibatkan perpecahan dan sebagainya. Empat, Seorang muslim itu wajib menghindari perbincangan yang mengandung unsur-unsur saling menjatuhkan, kata-kata saling mengumpat dan sebagainya dan tidak menyibukkan diri dengan perbincangan yang tidak ada manfaatnya.

Islam juga mengajarkan kejujuran. Jujur disini tidak hanya terbatas pada perkataan tapi juga niat dan perbuatan. jujur dalam ucapan merupakan bentuk paling nyata. Jika ucapan seorang muslim berbeda dengan realitas sebenrnya berarti ia bohong atau tidak jujur. Di dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 105 Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah mereka yang tidak mengimani (mempercayai) tanda-tanda kekuasaan Allah. Mereka adalah kaum pendusta (An-Nahl:105) Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rosullulah Muhammad SAW bersabda : "Ada tiga ciri orang munafik yaitu jika bicara ia berdusta, berjanji di ingkari, dan apabila di percaya berkhianat(HR Bukhari dan Muslim). Islam sangat melarang seorang muslim untuk berbohong. Bahkan berbohong dalam Islam dipandang sebagai salah satu sifat kekufuran dan kemunafikan.
Islam memang mengajarkan menjaga perasaan, tetapi bukan seperti budaya Blangkon yang sudan menjadi stereotype masyarakat jawa. Dalam pandangan Ilmu Komunikasi hal ini terjadi karena ketakutan dalam berkomunikasi atau yang disebut communication apprenesion. Hal ini desebabkan adanya hierarki atau tinggkatan strata dalam masyarakat jawa. Bentuk-bentuk dari communication apprenesion adalah:

1. malu

2. kompetensi komunikasi

3. interaksi komunikasi

4. takut melakukan kesalahan & dihina. (Bippus & Dally).

Terlepas dari permasalahan budaya, communication apprenesion disebabkan ole beberapa hal, antara lain adalah :

Degree of evaluation, Derajat evaluasi (saat di evaluasi)

Subordinate status. Status sub-ordinat (dihadapan orang yang kompeten).

Degree of conspicuousness. derajat kejelasan dari audiens (publik / diadik).

Degree of unpredictability. Situasi yang sulit diramalkan/prediksi.

Degree of dissimilarity. Semakin anda tidak dikenal, semakin merasa takut.

Prior successes and failures. Pengalaman masa lalu (sukses-gagal).

Lack of communication skill and experiences. Minimnya pengalaman dan keterampilan dalam berkomunikasi

Masyarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan sehinnga menimbulkan perbedaan dalam status sosial, agama, ideologi, tinggakat pendidikan, tingkatan kekayaan, dan sebagainya, yang kesemua menjadi hambatan bagi kelancara dalam berkomunikasi.( Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi hal 12, PT.Remaja Rosdakarya 2002)

Contohnya, seseorang yang memiliki kedudukan atau jabatan dalam struktur kemaysrakatan pasti dia menjadi bawahan orang lain. Seorang Lurah harus tunduk kepada Camat, Camat akan mengkondisikan dirinya jika bertemu dengan Bupati, begitu pula selanjutnya. Serorang mahasiswa satu angkatan tidak akan kaku bila sedang melakukan komunikasi dengan teman satu angkatan karena komunikasi yang dilakukan bersifat horisontal. Demikian juga ketika berbicara dengan adik tingkat dan akan bebeda pula apabila berkomunikasi denga kakak tingkat.

Tidak jarang permasalah seperti ini dapat menimbulkan konflik antar golongan. Karena masyarakat yang menjadi bawahannya akan merasa termarjinalkan, sehingga mereka membuat kekutana tersendiri untuk melawan atasan. Seorang bawahan yang memiliki atasan yang otoriter tidak berani mengkritik atau memberikan saran kepada atasan, tetapi dihapadapan atasannya ia adalah seorang bawahan yang tunduk dan patuh kepada atasan. Padahal ia mempunyai idealis sendiri yang berbeda denga atasan. Disitulah mulai muncul konflik, ia tidak berani mengatakan langsung kepada atasan tentang idealisnya karena ia merasa tidak punya kekuatan. Kemudian ia menghimpun kekuatan dangen mengumpulkan rekan-rekan yang mempunyai idealis yang sama untuk melawan atasan yang otoriter tersebut.

Kita harus objektif dalam menadang suatu permasalahan. Termasuk permasalahan budaya balngkon ini. Memang ada baiknya kita manjaga perasaan orang, tetapi apabila sudah berlebihan atau kelewat batas kita tidak boleh tinggal diam. Seseorang akan merasa sungkan apabila menegur orang yang dirasa telah berbuat terlau baik kepada dia, padahal hati nuraninya berkata lain. Kita harus tegas dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Sikap Asertif bisa menjadi salah satu win-win solution dari permasalahan ini. Sikap asertif adalah berbicara dan melakukan sesuatu dengan hati nurani. Orang yang bersikap asertif berani melakukan sesuatu hal yang sesuai dengan hati nuraninya dan berani menerima konsekuensi apa yang telah dia lakukan. Ia berani dijauhi oleh orang-orang demi kekjujuran pada hati nurani. Dalam dirinya yang ada hanya hitam dan putih, tidak ada abu-abu.

Sikap asertif bukan berarti blak-blakan dalam menyampaikan saran atau kritik tanpa memperhatikan etika dalam berkomunikasi. Kita bisa mempertahankan hak kita dengan cara yang halus tetapi tidak mengkorbankan hak orang lain. Kita menggunakan cara yang halus dan berterus terang dalam menyampaikan pesan walaupun belum tentu benar, sehingga pihak lain tidak merasa tersinggung.

Dalam suatu organisasi, sikap asretif perlu diterapkan pada semua anggotanya. Baik itu atasan ataupun bawahan sehingga dapat tercipta iklim organisasi yang kondusif. Apa salahnya dan apa susahnya apabila seorang atasan bisa menerima kritikan, saran atau bahkan teguran oleh bawahanya.

Begitu juga dalam keluarga, orang tua harus mengajarkan sikap asertif kepada anak-anaknya. Anak harus belajar jujur kepada orang tua dan memberi masukan dan saran kepada orang tua, dan orang tua haru menerima dengan lapang dada masukam dari anak-anaknya. Sehingga komunikasi yang berjalan adalah two way trafick.

Dengan menerapkan sikap asertif kita bisa mengetahui The Blind self (daerah buta) dari diri kita masing-masing. Kita bisa mengetahui informasi tentang diri kita yang diketahui orang lain tetapi kita sendiri tidak mengetahuinya. Hal ini bisasnya berupa kebiasaan2 kecil, pengalaman terpendam, kekurangan/kekeliruan diri dll. Kita bisa membenahi diri dengan menerima masukan dari orang lain walaupun itu menyakitkan dan itu berasal dari orang yang berbeda strata dengan kita.

Daftar Pustaka

Ratnakomala, 2007. konsep jujur,adil, dan bertanggung jawab dalam konsep Islam ( online, diakses pada tanggal 5 April 2008, http:// ratnakomala.blogspot.com/)

http://syariahonline.htm/konsultasi (online, diakses pada tanggal 5 April 2008)

Fatkhul Anas, 2007 filosofi blangkon (online, diakses pada tanggal 5 April 2008, www.satriakelana.org)

Yudhistira, 2008. Filosifi Blangkon Dari Sisi yang Berbeda (online, diakses pada tanggal 5 April 2008. www.pintunet.com)

Uchjana, Onong, 2002. Dinamika Komunikasi cetakan ke lima. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono, 1987. Sosiologi Suatu Pengantar cetakan ke tiga. Jakarta : CV. Rajawali.

Mulyana, Deddy, 2004, Komunikasi Efektif: Suatu pendekkatan Lintas budaya . Bandung : PT Remaja Rosdakarya.