Selasa, 02 September 2008

FENOMENA INDUSTRIALISASI MEDIA: DARI ZAMAN ORDE LAMA, ORDE BARU DAN ERA REFORMASI

Oleh: Muhammad Najih Farihanto, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang..

INTRODUCTION....

Apa yang pertama dalam pikiran kita ketika mendengar kata industri???? Buruh, pabrik, investor asing, export, import dan tak lupa adalah profite oriented. Begitu juga dengan industri media yang sedang berkembang sekarang ini. Industri media di Indonesia memang sedang berkembang pesat, terbukti dengan menjamurnya korporasi media baik cetak maupun elektronik. Sebut saja Jawa Pos Grup yang mempunyai beberapa anak cabang di setiap daerah . Apabila kita menengok kebelakang, perkembangan industri media dimulai pada masa setalah jatuhnya rezim orde baru yang digantikan dengan era Reformasi. Mengingat banyak sekali penbredelan-pembredelan media massa terutama media cetak yang mengkritik kebijakan pemerintah.

Pada masa reformasi kebebasan pers sangat dijunjung tinggi sehingga para pekerja media dalam hal ini pers dengan bebas dapat mengekspresikan apa-apa yang terjadi di masyarakat tanpa perlu takut akan kontrol dari pemerintah. Pers bebas meliput berita apapun dan yang dianggap dapat menarik animo dari masyarakat.

Mengingat pesatnya perkembangan industri media saat ini, dalam tulisan ini akan memaparkan perkembangan media massa terutama cetak dari Zaman Orde Lama yang merupakan awal kebangkitan Indonesia, Orde Baru yang penuh dengan tekanan dan intervensi dari pemerintah, dan Era reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan Pers. ENJOY.....

PERS DI MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU

Pers tidak jauh dari dunia politik, di indonesia sendiri perkembangan pers dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan politik. Pada jaman VOC, pemerintah belanda mengeluarkan haatzai artikelen yaitu undang-undang yang membatasi pers dan agar tidak mempropaganda rakyat Indoensia terhadap pemerintah belanda.

Begitu juga dengan masa Orde lama, pemerintah melakukan pembredelan terhadap pers yang melakukan propaganda negatif kepada rakyat untuk melawan pemerintahan. Dan pada masa pemerintahan orde lama, pembredelan besar-besaran terjadi, dengan dicabutnya SIUUP ( Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) makan industri media banyak yang tidak bisa melakukan kegiatan pers.

Pada masa akhir orde lama, muncul pers yang mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan kemudian muncul pers parti politik, yaitu pers yang menjadi corong ideologi partai tersebut dan dibiayai oleh partai yang bersangkutan. Namun pers partai politik tidak bisa bertahan lama, kerana pemerintahan orde baru menerapkan demokrasi terpimpin. Pers pada masa itu harus mengikuti sistem politik yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi banyak sekali terjadi pergolakan-pergolakan dikalangan pers, pers tidak mau mengikiti aturan-aturan pemerintah karena hal tersebut mnyebabkan pembunuhan karakter dan ketidak bebasan pers dalam mengembangkan ideologinya.

Banyak terjadi pembredelan-pembredelan yang dilakukan pemerintah karena tidak pemgikuti peraturan pemerintah pada saan itu, pers dianggap melawan garis politik pada masa itu yaitu NASAKOM (Nasionalis, Agamis, Komunis). Pemerintah juga memenjarakan tokoh-tokoh pers dan politik yang melawan garis politik yang dianut oleh pemerintah.

Setelah peristiwa berdarah G 30 S PKI, pers mengalami penurunan kuantitas penerbitan. Hal tersebut dikerenakan kebijakan pemerintah dalam membatasi ruang gerak pers dengan mewajibkan pers meiliki SIT (surat Izin terbit) dan SIC (Surat Izin Cetak) yang dikeluarkan oleh pemerntah.

Pada saat jatuhnya orde lama dan digantikan oleh rezim orde baru, industri pers lebih berkonsentrasi dengan pemulihan keadaan negara baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Pada awal orde baru, sarat dengan muatan represif, tidak ada lagi pers bebas, pers mendapat tekanan dari segala penjuru. Untuk dikuasai oleh Negara, wartawan bisa dibeli serta pers dibredel sewaktu-waktu apabila menyimpang atau tidak sesuai dengan apa-apa yang diperintahkan oleh pemerintah pada waktu itu.

Pada sekitar tahun 1970-an, kapitalisme media mulai muncul, partai politik pada saat itu yang berjumlah puluhan digabung menjadi tiga partai politik saja. Sehingga pers yang menjadi corong ideologi para partai politik kebingungan dalam hal pencarian sumber dana yang sebelumnya dibiayai oleh partai politik. Sehingga, agar penerbitan tetap terlaksana maka para pemilik penerbitan berlomba-lomba untuk mendapatkan biaya produksi dari periklanan. Dari kondisi yang demikian, pers di Indonesia berubah dari pers yang sifatnya ideologis menjadi pers industri yang besar.

Dengan mulainya pers sebagai suatu industri maka akan banyak pula memperkerjakan para karyawan. Ditambah lagi adanya SIT, SIC dan SIUPP membuat pers pada waktu itu sering terancam ditutup. Untuk mengahadapi hal-hal yang demikian, maka beberapa penerbitan pada saat itu melakukan pengalihan dimana surat kabar-surat kabar besar mengambil manajemen dari surat kabar daerah dan memberi bantuan dana. Alasan yang digunakan tidak hanya untuk mengambil profit namun juga untuk melindungi berbagai kepentingan. Dari pengalihan tersebut muncullah yang dinamakan konglomerasi media-media besar.

Di akhir pemerintahan rezim orde baru, pada sekitar tahun 1990-an trejadi kembali penguasaan pers oleh pemerintah. Pers mulai menulis artikel-ertikel yang mengkritik dan menentang kebijakan kebijakan pemerintah. Terjadi beberapa kasus penangkapan para tokoh-tokoh pers yang dilakukan pemerintah karena tokoh tersebut dirasa telah menentang dan mengkritik kebijakan pemerintah. Pada tahun 1971, pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 2 septembef 1971, menghukum Tengku Hafaz, pimpinan Redaksi Harian Nusantara, dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun karena mengkritik pemerintah. Selain pengakapan tokoh, juga terjadi pembredelan-pembredelan media yang dianggap menentang pemerintahan orde baru. Penutupan DeTIK, Tempo, dan Editor semakin menguatkan bahwa pers pada masa itu sangat tergantung pada kondisi politik bangsa.

Contoh kasus lain pers yang terjadi pada masa orde baru diantaranya adalah:

a) Tahun 1980-an ketika sedang maraknya peristiwa bunuh diri dengan meminum pestisida, harian Kompas pernah didatangi oleh oleh seorang konsultan merek terkemuka mewakili merk dagang obat nyamuk semprot terkenal. Ia meminta agar pemberitaan yang berkaitan dengan bunuh diri tidak menyebutkan merk dagangya, meskipun faktanya demikian.

b) Pada tahun 1996, salah satu wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, dibunuh di Yogyakarta, dan pelakunya diduga kaki tangan pemerintah. Sebelum terjadi pembunuhan tersebut, Fuad Muhammad Syafruddin sedang menyelidiki kasus korupsi di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, dan menulis artikel mengenai kesimpulannya yang kemudian dimuat oleh Bernas.

Pers pada saat itu benar-benar sangat dibatasi kebebasanya, pemerintah yang otoriter dan regulasi yang sangat ketat membuat pers tidak bisa mengenbangkan ideologinya. Pers pada saat itu sangat dibatasi sehingga tidak mampu untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi di pemerintahan. Pers memproduksi artikel-artikel sempit, seakan-akan itu adalah perintah dari pemerintah dan tidak boleh membuat artikel atau berita yang menentang pemerintah. Semakin jelas bahwa pers (baik swasta atau pemerintah) digunalakn sebagai corong pemerintah orde baru.


PERS DI ERA REFORMASI

Di Era reformasi, tidak ada lagi pembredelan-pembredelan yang dilakukan pemerintah karena perbedaan idealis atau mengkritisi kebijakan pemerintah. Pers di Era Reformasi sangat menjunjung tinggi kebebasan. Tidak ada lagi wartawan yang dibunuh karena memaparkan korupsi pemerintah kepada publik dan tidak ada lagi penangkapan pemimpin redaksi karena berbeda idealis dengan pemerintah.

Tetapi permasalahan baru muncul setelah adanya kebebasan pers. Yaitu kekuatan modal luput diperhatikan dan untuk itu Modal inilah yang kemudian mengemuka sebagai kontrol baru atas dunia Media. Tanggung jawab sosial yang sebagai salah satu pilar dari pers sudah mulai dilupakan. Media sekarang cenderung mencari laba sebanyak mungkin demi kepentingan pemodal tanpa memperhatikan etika jurnalistik.

”Media massa sudah menjadi industri sebagai masuknya modal atau kapital dalam industri media massa sejak era 1980an”. Demikian kata ketua PWI Jatim, H Diman Abror dalam acara seminar ”membangun relasi media dengan dunia usaha” di kampus Fisip Unair Surabaya. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Drs Hebdri Subiakto SH. MA selaku staf ahli menkominfo dan juga pakar komunikasi Fisip Unair. Beliau mengatakan ” media massa saat ini bisa diperalat kapitalis akibat masuknya pemodal ke industri media”.

Pers yang kini juga menjadi penguasa dalam penyebaran infomasi juga tak lepas dari keharusan ini. Pengawasan terhadap media, karenanya diperlukan, termasuk melibatkan masyarakat, seperti lembaga pemantau media dan Dewan Pers. Kini, harus diakui pers pun kerap menjadi alat kepentingan modal.
"Media massa kini juga menjadi penguasa. Bahkan, ada pula kekuatan media yang di tengah perseteruan korporasi. Pengawasan terhadap media dan orang-orang pers pun perlu dengan kode etiknya," papar pengamat politik Universias Airlangga (Unair) Daniel Sparringga dalam acara yang sama.

Contoh kasus yang membuktikan bahwa kapitalisme berkembang dikalang media massa adalah munculya tabloid-tabloid selebritis yang merupakan pengembangan dari acara infotaiment yang tidak penting ditayangkan di televisi. Karena melihat besarnya dana yang diterima dari hasil acara itu, para pemilik media melanjutkan dengan menerbitkan tabloid-tabloid selebriti. Apa bila kita lihat lebih dalam, apa keuntungan bagi masyarakat tentang kehidupan pribadi seseorang?? Tidak lain dan tidak bukan adalah penurunan moralitas bangsa Indonesai karena menyebarkan aib sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan kita.

Contoh lain dari berkembangnya kapitalisme media adalah, terbitnya majalah Playboy edisi Indonesia, walau majalah itu sudah dicekal penerbitannya tetapi itu melambangkan lunturnya moral media yang melupakan tanggungjawab sosial. Media yang menampilkan gambar perempuan irit busana dan terhadap kalimat-kalimat yang mengundang orang untuk berselingkuh, seperti disampaikan Stela (salah satu model) di awal tulisan. ”Aurat, urusan kamar tidur, juga kegemaran pribadi berganti-ganti pasangan” yang tak ada unsur kepentingan publiknya, rasanya lebih pas dibuang jauh-jauh dari pers kita.

Media sekarang benar-benar telah melupakan fungsinya sebagai sarana informasi publik. Regulasi perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah seakan-akan hanya formalitas saja.. Pada zaman orde baru dulu, pemerintah sangat mengekang media. Pemerintah saat ini justru terkesan bak macan ompong yang selalu menggembar-gemborkan perundang-undangan tetapi tidak ada hasilnya. Bukan bermaksud untuk mengembalikan dan membandingkan antara pers pada masa orde baru dengan masa sekarang, tetapi memang seperti itu adanya. Pemerintah hanya no action talk only dalam menyikapi kepitalisme media.

Seharusnya pemerintah bisa menggunakan kekuasaannya untuk melindung system media kita dari serangan kepitalisme dan liberalisme media yang membawa efek positif bagi masyarakat kita. Memang kita akui pemerintah telah berusaha dengan mengeluarkan regulasi-regulasi media, tetapi pemerintah terkesan setengah hati. Di satu sisi pemerintah memberikan regulasi untuk melindungi media dari kebebasan dan kapitalisme tetapi sisisi lain nampaknya pemerintah main mata dengan pemilik industri media. Toh bayak juga para pemilik dari perusahaan media adalah para tokoh birokrat pemerintah.

PENGARUH TERHADAP PRILAKU MASAYRAKAT…

Menurut Onong Ucjana dalam bukunya “dinamika komunikasi” berpendapat bahwa, efek dari komunikasi ada 3 yaitu efek koginitif, efek afektif dan efek behaviour. Efek kognitif muncul pada kalayak yang menyebabkan tingkat intelektualitasnya bertambah. Begitu juga pada media, media berfungsi sebagai sarana informasi khalayak. Media seharusnya dapat menambah intelektualitas masayrakat dengan menginformasikan berita yang layak untuk dikonsumsi masayarakat. Bukan informasi yang membodohi masyarakat baik secara langsung ataupun tidak langsung. Yang ke dua adalah efek afektif, komunikator bukan hanya menginformasikan dan menambah tingkat intelektualitasan komunikasn tetapi komunikan sudah mulai tergerak hatinya dan menimbulkan perasaan tertentu. Media tidak hanya menginformasikan pesan kepada khalayak, tetapi media juga harus memberikan perubahan kepada khalayak. Khalayak akan menambah intelektualitasnya dan tergerak hatinya setelah membaca informasi yang disampaika oleh media. Efek yang ketiga adalah efek bahaviour, efek ini paling tinggi kadarnya. Karena dampak yang muncul dari komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator dalam bentuk prilaku, tindakan atau kegiatan. Media sebagai agen of canging harus memberikan dempak yang baik bagi khalayak. Media teidak hanya menambah intelektulitasan khlayak, dan penggerak hati tetapi juga merubah prilaku khalayak.

Apabila kita melihat kapitalisme media yang mengutamakan profite, rasanya efek-efek yang diberikan kepada khlayak cenderung negatif. Mereka hanya mencari human interest saja, tanpa memperhatikan sisi edukasinya. Maysarakat diajak untuk subjektif dalam memandang sesuatu. Padahal, sebuah media seharusnya objektif dalam menginformasikan berita kepada khalayak. Apabila kita melihat realitas yang ada, masyarakat indonesia masih banyak yang belum melek media.

Secara opini publik, masyarakat dibagi menjadi tiga kalangan, yaitu :

  1. general publik, yaitu masyarakat yang mudah dimobilisasi, mudah tepengaruh, dan mudah untuk dipropaganda.
  2. atentif publik, yaitu kalangan yang kritis dan sadar akan realitas yang ada.
  3. elit publik, yaitu kalangan yang membuat kebijakan seperti pemerintah, DPR dll.

Masyarakat Indonesia masih banyak yang termasuk kalangan general publik, mereka mudah dimobilisasi, mudah terpengaruh dan mudah dipropaganda. Penyababnya adalah tingkat pendidikan yang masih rendah di Indonesia. Sebenarnya media bisa digunakan sebagai alat edukasi pengganti sekolah. Tetapi justru media lah yang menyebabkan moral masyarakat indonesai semakin bobrok. Banyak media yang menginformasikan kepada kahayak kurang objektif, hanya memandang dari satu sisi dan masyakakat indonesia terutama dari kalangan general publik menelan mentah-mentah informasi tersebut.

Kita sebagai kalangan atnetif publik seharusnya tidak tinggal diam dalam permasalaan seperti ini. Kita harus menyadarkan masyarakat agar tidak terbodohi oleh media yang lebih mementingkan profite dari pada tanggungjawab sosial. Kita tahu bahwa salah satu fungsi dari media adalah to educate atau sebagai sarana pendidikan disamping pendidikan formal. Kita manfaatkan media semaksimal mungkin, dan kita jangan menerima mentah-mentah informasi dari media. Kita cari tahu dulu kebenarannya, apakah itu fakta atau berita yang sudah tercampur oleh opini.dan yang jelas kita harus ojektif dalam memandang suatu informasi.

Daftar Pustaka

www.rumahkiri.com, Media Massa dan Reproduksi Ideologi: Lepas dari Cengkeraman Negara, Terjebak Logika Modal.(diakses pada tanggal 17 April 2008)

Rikando somba, www.sinarharapan.com Pers dan Industri Media Perlu Audit .(diakses pada tanggal 17 April 2008)

Edy M Ya`kub, www.antaranews.com, Industri media massa perlu diatur. .(diakses pada tanggal 17 April 2008)

Muh. Sirul Haq, , Keberpihakan media .(diakses pada tanggal 17 April 2008)

www.dye.com , Desakan Media Liberal di Indonesia, .(diakses pada tanggal 17 April 2008)

Uchjana, Onong, 2002. Dinamika Komunikasi cetakan ke lima. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Silfa Pernika Reskhy, Kondisi Pers Indonesia Pada Masa Orde Baru.


Tidak ada komentar: