Selasa, 02 September 2008

stereotype budaya blangkon

oleh: Muhammad Najih Farihanto, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang.

Definisi Budaya

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa kita selama ini mengenal budaya sebagai kesenian khas dari daerah-daerah. Terutama dari seni suara dan tari. Tetapi istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu social, maka kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudaaan.

Kata kebudayan dimabil dari bahasa Sangsekerta buddhayah yang merupaka bentuk jamak dari kata ”budhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudaan dapat diartikan sebagai ” hal-hal yang bersabgkutan dengan budi atau akal”.( Sosiologi suatu pengantar, Soerjono Soekanto, hal:154)

Kita dilahirkan oleh budaya, budayalah yang membesarkan dan membentuk kita. Budaya memnadu kita untuk mempersepsi dunia. Budaya memperkenalkan siapa kita, bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain dan bagaimana kita mencari dan mencapai tujuan kita. Dengan kata lain budaya sangat berperan dalam hidup kita, apa yang kita bicarakan, apa yang kita lihat, apa yang kita pikirkan dipengaruhi oleh budaya

. Hal serupa juga dikatakan oleh Trenholm dan Jensen dalam buku Komunikasi Efekti yang ditulis Oleh Deddy Mulyana. Mereka mengatakan bahwa budaya adalah seperangkat nilai, kepercayaan, norma, dan adat istiadat, aturan dan kode yang secara sosial mendefinisikan kelompok-kelompok orang yang mengikat satu sama lain dan memberikan kesadarann bersama. Mereka juga mengemukakan lebiha jauh bahwa budaya adalah jawaban kolektif terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar : siapa kita? Bagaimana tempat kita didunia? Dan bagaimana kita menjalani kehidupan kita?

Budaya Blangkon dan Semua Permasalahannya

Blangkon adalah tutup kepala yang terbuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa.untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut mereka dibagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon.(http://id.wikipedia.org/wiki/Blangkon)

Blangkon yang mempunyai beberapa jenis, yaitu blangkon Khas Yogyakarta dan blangkon Khas Surakarta. Blangkon yang mempunyai ”mondolan” adalah blangkon khas Jogjakarta, hal ini dikarenakan pada waktu itu, awalnya laki-laki Jogja memelihara rambut panjang kemudian diikan keatas (seperti Patih GajahMada) kemudian ikatan rambut disebut gelungan kemudian dibungkus dan diikat, kemudain berkembang menjadi blangkon, yang kemudian menjadikan salah satu filosofi masayrakat jawa yang pandai menyimpan rahsia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertuturkata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus, sehingga menjadikan ereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi, akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang jawa. Dia pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib, dia akan berusaha tersenyum dan tertawa walaupun hatinya menangis, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagai mana bisa berbuat yang terbaik demi sesama walaupun mengorbankan dirinya sendiri. Balangkon gaya Surakarta tidak menggunakan mondalan karena pria solo waktu itu lebih dulu mengenal cukur rambutkarena pengaaruh belanda, dan karan pengaruh belanda mereka mengenal jas yang bernama beskap yang berasal dari beschaafd yang berarti civilized atau berkebudaan. Tidak adanya tonjolan hanya diikatkanjadi satu dengat menikatkan dua pucuk helai di kanan dan kirinya, yang mengartikan bahwauntuk menyatukan satutujuan dalam pemikiran yang lurus adalah dua kalimat syahadat yang harus melekat erat dalam pikiran orangjawa.(http://www.pintunet.com/lihat_opini.php?pg=2008/02/20022008/72610&mini)

Penempatan blangkon dikepala merupakan anjuran agar segala pemikiran yang dihasilkan dari kepala tersebut selalu membawa nilai-nilai keislaman. Dalam artian sebebas apapun pemikiran yang dihasilkan oleh otak, agama islam selalu menjadi mainstream. Jadi, segala pemikirannya akan berguna bagi orang banyak, tidak malah menyengsarakan. Juga berguna bagi seluruh alam sebagaimana islam yang rahmatan lil’alamin. Makna filosofi blangkon yang kedua yaitu blangkon sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos) dengan jagad gede (makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang disimbolkan dengan blangkon. Setelah manusia mendapat kekuatan tersebut, resmilah ia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang tugasnya mengurus alam sesisinya. Maka tak heran jika zaman dahulu orang-orang Jawa banyak yang memakai blangkon karena mereka sadar bahwa mereka selain sebagai hamba Tuhan juga merupakan khalifah di bumi.( Fatkhul Anas, dalam tradisi Blangkon di www.satriakelana.org)

Jadi dapat kita simpulkan, filosofi Budaya Blangkon pada masyarakat jawa adalah masyarakat jawa pandai menyimpan rahsia, tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri karena ia akan serapat mungkin dan dalam bertuturkata dan bertingkah laku penuh dengan kiasan dan bahasa halus.

Akan tetapi apabila kita melihat filosifi dari blangkon diatas, ada pergesaran nilai filosofi dari blangkon itu. Karena Filosofi sekarang tentang Masyarakat Jawa dengan Budaya Blangkon adalah sikap plintat-plintut atau hanya berani dibelakang, orang jawa itu suka ”ngerasani”, sikap seperti itu sama halnya dengan orang memakai blangkon yang pentolannya mesti dibelakang.

Ini berkaitan erat dengan masyarakat jawa yang sangat menjaga perasaan orang lain. Masayarakat jawa lebih memilih menyimpan rapat-rapat apa yang ada di dalam hatinya kepada orang lain walaupun itu menyakitkan. Seperti seorang pembantu atau anak buah yang tidak menyukai atasan atau bosnya. Tatepi mereka tetap berprilaku baik dihadapan atasannya. Asal Bapak Senang atau yang biasa disebut dengan ABS mungkin sebutan cocok bagi orang tersebut.

Dalam pandang Islam, menjaga perasaan sangat diajarkan. Dalam Al-Qur`an Surat Al-Hujarat ayat 11 dan 12 Allah SWT berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang mengolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) lebi baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan kamu memanggil dengan gelar yang buruk, seburuk buruk panggilan ialah panggilan sesudah iman dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka orang yang zalim.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu, adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang laindan jangan lah sebagian kamu menggunjing sebagian lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging sudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Taubat lagi maha penyayang. (Al-Hujarat ayat 11 dan 12)

Ayat diatas menyampaikan tentang larangan Allah SWT untuk berprasangka buruk, karena prasangka adalah sesuatu yang belum tentu benar. Allah SWT mengibaratkan apabila kita berprasangka buruk dengan sesama sama halnya kita memakan daging saudara kita yang sudah mati. Allah SWT juga sangat membenci orang yang suka mencela, dalam Surat Al-Humazah ayat 1 Allah berfirman:

Celaka besarlah bagi setiap orang pengumpat lagi pencela.( Al-Humazah ayat 1)

Dan dalam surat An-Nur ayat 19 Allah berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang berfirman, bagi mereka azab yang pedih didunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak ketahui.( An-Nur ayat 19)

Ayat-ayat diatas mengajarkan kepada kita agar tidak menyebarkan berita-berita yang dianggap aib dan belum tentu kebenarannya. Dan dari ayat-ayat diatas bisa kita ambil kesmpulan bahwa Islam sangat mengajarkan menjaga perasaan terhadap sesama. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rosullulah Muhammad SAW bersabda :”Jika kamu bertiga maka janganlah dua daripada kamu bercakap-cakap meninggalkan yang ketiga karena perbuatan begini akan mendukacitakannya.” (al-Bukhari dan Muslim). Yang dapat kita ambil dari Hadits tersebut adalah, yang pertama, apabila terdapat tiga orang berada dalam satu forum, maka tidak boleh dua diantara mereka berbicara dan meninggalkan orang yang ke tiga. Perbuatan ini bisa memebuat orang ke tiga merasa tidak dilibatkan dan menyebabkan buruk sangka karena ia tidak diperdulikan. Kedua,setiap orang hendaknya memahami norma-norma dalam bergaul supaya tidak timbul kecurigaan sehingga muncul perkelahian. Ketiga, kita menyampaikan sesuatu dengan pasti bukan sesuatu yang samar-samar sehingga timbul berbagai fitnah dan cerita bohong yang diada-adakan hingga mengakibatkan perpecahan dan sebagainya. Empat, Seorang muslim itu wajib menghindari perbincangan yang mengandung unsur-unsur saling menjatuhkan, kata-kata saling mengumpat dan sebagainya dan tidak menyibukkan diri dengan perbincangan yang tidak ada manfaatnya.

Islam juga mengajarkan kejujuran. Jujur disini tidak hanya terbatas pada perkataan tapi juga niat dan perbuatan. jujur dalam ucapan merupakan bentuk paling nyata. Jika ucapan seorang muslim berbeda dengan realitas sebenrnya berarti ia bohong atau tidak jujur. Di dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 105 Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah mereka yang tidak mengimani (mempercayai) tanda-tanda kekuasaan Allah. Mereka adalah kaum pendusta (An-Nahl:105) Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rosullulah Muhammad SAW bersabda : "Ada tiga ciri orang munafik yaitu jika bicara ia berdusta, berjanji di ingkari, dan apabila di percaya berkhianat(HR Bukhari dan Muslim). Islam sangat melarang seorang muslim untuk berbohong. Bahkan berbohong dalam Islam dipandang sebagai salah satu sifat kekufuran dan kemunafikan.
Islam memang mengajarkan menjaga perasaan, tetapi bukan seperti budaya Blangkon yang sudan menjadi stereotype masyarakat jawa. Dalam pandangan Ilmu Komunikasi hal ini terjadi karena ketakutan dalam berkomunikasi atau yang disebut communication apprenesion. Hal ini desebabkan adanya hierarki atau tinggkatan strata dalam masyarakat jawa. Bentuk-bentuk dari communication apprenesion adalah:

1. malu

2. kompetensi komunikasi

3. interaksi komunikasi

4. takut melakukan kesalahan & dihina. (Bippus & Dally).

Terlepas dari permasalahan budaya, communication apprenesion disebabkan ole beberapa hal, antara lain adalah :

Degree of evaluation, Derajat evaluasi (saat di evaluasi)

Subordinate status. Status sub-ordinat (dihadapan orang yang kompeten).

Degree of conspicuousness. derajat kejelasan dari audiens (publik / diadik).

Degree of unpredictability. Situasi yang sulit diramalkan/prediksi.

Degree of dissimilarity. Semakin anda tidak dikenal, semakin merasa takut.

Prior successes and failures. Pengalaman masa lalu (sukses-gagal).

Lack of communication skill and experiences. Minimnya pengalaman dan keterampilan dalam berkomunikasi

Masyarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan sehinnga menimbulkan perbedaan dalam status sosial, agama, ideologi, tinggakat pendidikan, tingkatan kekayaan, dan sebagainya, yang kesemua menjadi hambatan bagi kelancara dalam berkomunikasi.( Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi hal 12, PT.Remaja Rosdakarya 2002)

Contohnya, seseorang yang memiliki kedudukan atau jabatan dalam struktur kemaysrakatan pasti dia menjadi bawahan orang lain. Seorang Lurah harus tunduk kepada Camat, Camat akan mengkondisikan dirinya jika bertemu dengan Bupati, begitu pula selanjutnya. Serorang mahasiswa satu angkatan tidak akan kaku bila sedang melakukan komunikasi dengan teman satu angkatan karena komunikasi yang dilakukan bersifat horisontal. Demikian juga ketika berbicara dengan adik tingkat dan akan bebeda pula apabila berkomunikasi denga kakak tingkat.

Tidak jarang permasalah seperti ini dapat menimbulkan konflik antar golongan. Karena masyarakat yang menjadi bawahannya akan merasa termarjinalkan, sehingga mereka membuat kekutana tersendiri untuk melawan atasan. Seorang bawahan yang memiliki atasan yang otoriter tidak berani mengkritik atau memberikan saran kepada atasan, tetapi dihapadapan atasannya ia adalah seorang bawahan yang tunduk dan patuh kepada atasan. Padahal ia mempunyai idealis sendiri yang berbeda denga atasan. Disitulah mulai muncul konflik, ia tidak berani mengatakan langsung kepada atasan tentang idealisnya karena ia merasa tidak punya kekuatan. Kemudian ia menghimpun kekuatan dangen mengumpulkan rekan-rekan yang mempunyai idealis yang sama untuk melawan atasan yang otoriter tersebut.

Kita harus objektif dalam menadang suatu permasalahan. Termasuk permasalahan budaya balngkon ini. Memang ada baiknya kita manjaga perasaan orang, tetapi apabila sudah berlebihan atau kelewat batas kita tidak boleh tinggal diam. Seseorang akan merasa sungkan apabila menegur orang yang dirasa telah berbuat terlau baik kepada dia, padahal hati nuraninya berkata lain. Kita harus tegas dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Sikap Asertif bisa menjadi salah satu win-win solution dari permasalahan ini. Sikap asertif adalah berbicara dan melakukan sesuatu dengan hati nurani. Orang yang bersikap asertif berani melakukan sesuatu hal yang sesuai dengan hati nuraninya dan berani menerima konsekuensi apa yang telah dia lakukan. Ia berani dijauhi oleh orang-orang demi kekjujuran pada hati nurani. Dalam dirinya yang ada hanya hitam dan putih, tidak ada abu-abu.

Sikap asertif bukan berarti blak-blakan dalam menyampaikan saran atau kritik tanpa memperhatikan etika dalam berkomunikasi. Kita bisa mempertahankan hak kita dengan cara yang halus tetapi tidak mengkorbankan hak orang lain. Kita menggunakan cara yang halus dan berterus terang dalam menyampaikan pesan walaupun belum tentu benar, sehingga pihak lain tidak merasa tersinggung.

Dalam suatu organisasi, sikap asretif perlu diterapkan pada semua anggotanya. Baik itu atasan ataupun bawahan sehingga dapat tercipta iklim organisasi yang kondusif. Apa salahnya dan apa susahnya apabila seorang atasan bisa menerima kritikan, saran atau bahkan teguran oleh bawahanya.

Begitu juga dalam keluarga, orang tua harus mengajarkan sikap asertif kepada anak-anaknya. Anak harus belajar jujur kepada orang tua dan memberi masukan dan saran kepada orang tua, dan orang tua haru menerima dengan lapang dada masukam dari anak-anaknya. Sehingga komunikasi yang berjalan adalah two way trafick.

Dengan menerapkan sikap asertif kita bisa mengetahui The Blind self (daerah buta) dari diri kita masing-masing. Kita bisa mengetahui informasi tentang diri kita yang diketahui orang lain tetapi kita sendiri tidak mengetahuinya. Hal ini bisasnya berupa kebiasaan2 kecil, pengalaman terpendam, kekurangan/kekeliruan diri dll. Kita bisa membenahi diri dengan menerima masukan dari orang lain walaupun itu menyakitkan dan itu berasal dari orang yang berbeda strata dengan kita.

Daftar Pustaka

Ratnakomala, 2007. konsep jujur,adil, dan bertanggung jawab dalam konsep Islam ( online, diakses pada tanggal 5 April 2008, http:// ratnakomala.blogspot.com/)

http://syariahonline.htm/konsultasi (online, diakses pada tanggal 5 April 2008)

Fatkhul Anas, 2007 filosofi blangkon (online, diakses pada tanggal 5 April 2008, www.satriakelana.org)

Yudhistira, 2008. Filosifi Blangkon Dari Sisi yang Berbeda (online, diakses pada tanggal 5 April 2008. www.pintunet.com)

Uchjana, Onong, 2002. Dinamika Komunikasi cetakan ke lima. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono, 1987. Sosiologi Suatu Pengantar cetakan ke tiga. Jakarta : CV. Rajawali.

Mulyana, Deddy, 2004, Komunikasi Efektif: Suatu pendekkatan Lintas budaya . Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar: